Ketika Sholat Terasa Berat

Urgensi dan pentingnya shalat telah sedemikian jelas bagi setiap Muslim. Meski begitu, kita belum juga merasakan makna-makna mendalam ini, dan kita pun tetap menganggap shalat sebagai sesuatu yang berat. Kita memang layak mengalami hal tersebut, dan alasan tersebut bisa diterima. Sebab Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah berfirman, artinya:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al Baqarah: 45).
Yah, kita belum melaksanakan shalat secara khusyuk, sehingga shalat pun terasa berat, sulit, dan menjadi beban. Karenanya, kekhusyukan menjadi tema utama dalam permasalahan shalat. Tanpa kekhusyukan, Anda akan merasakan shalat sebagai beban berat yang tidak berpengaruh, dan hanya merupakan gerakan-gerakan mekanistik saja.

Sebab dan Akibat Shalat Tak Khusyuk
Salah satu hal yang merintangi seseorang menuju kekhusyukan dalam shalat adalah banyaknya tolehan dan gerakan badan, begitu pun sikap lalai dalam shalat. Anda bisa melihat, ada orang yang melakukan hal-hal aneh dalam shalat. Satu contoh, orang yang mengerjakan shalat dengan sedemikian cepat seolah sebuah senam aerobik, atau shalat di samping televisi yang tengah menyala, atau shalat namun matanya berputar mengamati ornamen-ornamen masjid dan orang-orang yang ada di dalamnya. Ada juga yang ketika shalat sengaja mengangkat suara agar anaknya diam. Bahkan ada juga yang gerakannya lebih cepat dari patukan ayam jantan, di mana ia melakukan sujud namun ujung kepalanya hampir tidak menyentuh lantai.
Ini merupakan contoh-contoh yang tidak bisa diteladani. Apakah Anda mengira Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengabulkan shalat-shalat semacam ini?
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhârî, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang laki-laki yang mengerjakan shalat dengan cepat dan tanpa thuma’ninah,
“Pergilah untuk mengerjakan shalat sebab engkau belum mengerjakannya.”
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang perbuatan menoleh-noleh ketika shalat, maka beliau pun bersabda,
“Itu merupakan curian yang dilakukan setan terhadap shalat seorang hamba.” (HR. Al Bukhârî).
Sungguh, sejelek-jelek manusia adalah orang yang berusaha mencuri bagian shalatnya. Ditanyakan, “Bagaimanakah hal itu bisa terjadi, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ia tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. Ahmad).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menyambut saorang hamba dalam shalatnya sepanjang ia tidak berpaling. Maka jika hamba itu memalingkan muka, Allah pun berpaling darinya.” (HR. Abû Dâwûd dan An-Nasâ’î).
Demi Allah, tidakkah kita merasa malu? Apakah Allah Subhaanahu wa Ta’ala melihat Anda, tetapi Anda justru melihat ke arah yang lain?
Jadikan Shalat Sebagai Istirahat Anda
Inilah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama shalat. Perhatikanlah tatkala beliau mengatakan,
“Wahai Bilâl, dirikanlah shalat (qomatlah)! Istirahatkanlah kami dengannya.” (HR. Abû Dâwûd, dishahihkan oleh Al Albânî).
Bandingkan dengan kondisi kita saat ini. Bisa jadi kita justru mengatakan, “Istirahatkanlah kami dari shalat, wahai Bilâl.”
Demi Allah, yang mampu mengecap rasa ini hanyalah orang-orang yang khusyuk. Adapun orang-orang yang selain mereka justru akan merasa letih. Perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan, “Dan pucuk kebahagiaanku dijadikan terletak dalam shalat.” (HR. Ahmad).
Shalat adalah kebahagiaan beliau dan keinginannya. Pandangan beliau tidak terpenuhi apa-apa selain shalat, sementara pandangan kita telah terjejali banyak hal; isteri, rumah tangga, pekerjaan, harta benda, televisi, dan sebagainya. Pernahkah barang sekali kita merasakan pucuk kebahagiaan kita terlatak pada dua rakaat yang kita kerjakan di tengah gelapnya malam, di mana kita menegakkan kaki di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan penuh khusyuk dan menghibah?
Para sahabat mengatakan, “Apabila Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditimpa suatu persoalan atau mengharapkan sesuatu hal, beliau bergegas melaksanakan shalat.” (HR. Ahmad).
Itulah, sungguh aneh keadaan kita! Jika kita ditimpa persoalan, kita segera berlari mencari orang lain. Bukan shalat!
Antara Mabuk dan Lalai dalam Shalat
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisâ’: 43).
Subhânallâh! Ada banyak orang yang tidak sedang mabuk namun keadaan mereka ketika shalat tidak berbeda dengan orang-orang mabuk. Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang mereka ucapkan ketika shalat. Tanyakan pada diri kita masing-masing, berapakah shalat yang kita lakukan dalam kondisi lebih jelek dari orang-orang yang tengah mabuk? Sukakah Anda menjadi orang yang lalai, sementara Anda berdiri di hadapan Allah ??
Teladan dari Salaf
Abû Thalhah pernah shalat di kebunnya. Kemudian di tengah-tengah shalat beliau melihat seekor burung terbang keluar dari kebun. Kedua mata beliau pun terpaku melihat burung itu, sampai-sampai lupa, berapa rakaat telah beliau jalani. Akhirnya, karena kelalaian ini, beliau pergi menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sembari menangis dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah tersibukkan oleh seekor burung ketika shalat di kebun, sehingga saya lupa telah berapa rakaat melakukan shalat…” Beliau pun melanjutkan, “Sekarang, birlah kebun itu menjadi sedekah di jalan Allah. Gunakanlah kebun itu untuk apa saja seperti yang Anda inginkan, barangkali dengan ini, Allah akan mengampuni saya.”
Sungguh, seorang mukmin sejati akan melihat dosanya sebagai sebuah gunung yang besar yang siap menimpanya. Seharusnya kita menangis sejadi-jadinya atas keadaan kita selama ini. Ratusan hari, bahkan bertahun-tahun, kita shalat dalam keadaan lalai, namun kita selalu menghibur diri dengan berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pun pernah lupa jumlah rakaat shalatnya.”
Suatu kali Hâtim ibn al ‘Ishâm—rahimahullâh—pernah ditanya tentang shalatnya. Ia pun menjawab, “Jika waktu shalat telah tiba, aku berwudhu dengan sempurna, dan menghampiri tempat di mana aku akan mengerjakan shalat. Aku pun lantas duduk di sana sampai seluruh tubuhku terkonsentrasi. Kemudian aku pun memulai shalat dengan menjadikan Ka’bah seolah berada di hadapanku. Jembatan Ash-Shirath terlatak di bawah kakiku. Surga di samping kananku, dan neraka di sebelah kiriku, serta Malaikat Maut berada tepat di belakangku. Aku pun menganggap shalat ini sebagai shalatku yang terakhir.
Kemudian aku mulai mengerjakannya dalam nuansa antara raja’ (harap) dan khauf (cemas). Aku bertakbir sepenuh mungkin, dan membaca lantunan ayat Al Qur’an dengan tartil, kemudian aku rukuk dengan tawadhu dan bersujud dengan penuh khusyuk.
Selanjutnya aku duduk di atas kaki kiri dengan menjulurkan telapaknya dan menegakkan kaki kanan di atas patokan ibu jari. Aku pun mengakhiri shalat tersebut dengan rasa ikhlas. Tetapi aku tidak tahu, apakah shalat itu dikabulkan ataukah tidak.”
Perhatikan pula ‘Alî bin Abî Thâlib Radhiyallahu Anhu. Selepas wudhu, beliau biasanya gemetar. Ketika ditanya sebabnya, beliau mengatakan, “Sekarang aku sedang memikul amanah yang pernah disodorkan kepada langit dan bumi serta gunung, tapi mereka semua menolaknya. Namun aku kemudian maju dan bersedia menerima amanah tersebut.”
Carilah Hati Anda!
Imam Abû Hâmid Al Ghazâlî—rahimahullâh—berkata, “Carilah hatimu di tiga tempat: Pertama, ketika membaca Al Qur’an. Kedua, ketika shalat. Ketiga, ketika mengingat kematian. Jika di tiga tempat tersebut engkau belum menemukan hatimu, maka mohonlah kepada Allah untuk memberimu hati, sebab engkau sedang tidak memilikinya.”Wallâhul Hâdî ilâ Aqwamith Thorîq.
Sumber: www.adhikhazim.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar