Doa Mempermudah Rizqi dan Jodoh

“ROBBI LAA TADZARNI FARDAN WA ANTA KHOIRUL WAARITSIN”.

Artinya :
“Ya Allah janganlah engkau tinggalkan aku seorang diri dan engkau sebaik-baiknya dzat yang mewarisi”. (QS : Al-Anbiya ; 89)


" Robbi ini lima anzalta illayya min khoirin faqir "
Artinya :
"Ya Tuhanku sesungguhnya aku memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku" (QS: Al-Qhosos ; 24)


=== Do'a diatas adalah Doa Nabi Musa a.s. kemudian Nabi Musa didatangi calon istrinya
dan mendapatkan pekerjaan ===

Keutamaan Bulan Rajab

Bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah salat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”


Hukum Puasa Rajab

Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.


Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).


Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:

  • Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
  • "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."
Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."
"Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".
Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."
Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.

Mengamalkan Hadis Daif Rajab

Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha'if (lemah atau kurang kuat).

Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).

Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah mengatakan:

“Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”

walllohu a'lam bish showab

Definisi Ahlus Sunnah wl Jama'ah

I. PENGERTIAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

1. DEFINISI SUNNAH
a. Secara Bahasa

Kata As Sunnah yang mempunyai bentuk jamak / plural sunnah secara bahasa berarti sejarah [perjalanan hidup] dan jalan [metode] yang ditempuh.

Ibnu Mandhur berkata,” Sunnah makna awalnya adalah thariq yaitu jalan yang ditempuh oleh para pendahulu yang akhirnya ditempuh oleh orang lain sesudahnya.”

Pengarang kamus Mukhtarush Shihah berkata,” As Sunnah secara bahasa berarti sejarah dan jalan yang ditempuh baik itu jalan yang terpuji maupun yang tercela.”

Ath Tanawy dalam Kasyfu Isthilahat wal Funun berkata,” As Sunnah secara bahasa adalah jalan, baik jalan itu terpuji [baik] maupun buruk.”

Ibnu Faris berkata dalam Mu’jam Maqayisi Lughah, ”Sunnah artinya perjalanan hidup. Sunnah Rasulullah artinya perjalanan hidup beliau. Sunnah juga berarti jalan/metode baik terpuji maupun tercela. Kata ini diambil dari kata sunan yang bermakna jalan seperti disebutkan dalam hadits:

“Barang siapa mengawali jalan yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka. Barangsiapa mengawali jalan yang buruk dalam Islam maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”[ Muslim no. 1017, juga no. 6800,6801].

Ibnu Atsir dalam Nihayah 2/223 berkata,“Dalam hadits berulang kali disebutkan kata As Sunnah dan pecahan katanya. Asal maknanya adalah sejarah hidup dan jalan yang ditempuh.” Makna ini juga disebut dalam hadits:

“Kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai kalau mereka masuk lubang biawak pun kalian akan ikut.” Para sahabat bertanya,” Apakah mereka orang Yahudi dan Nashrani wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Siapa lagi kalau bukan mereka.” [Bukhari 3456, Fathul Bari VI/495, Muslim 2669/6781].

Begitu juga bila dikatakan,” Shalat witir itu Sunnah maka maknanya adalah jalan/ hal yang diperintahkan dan dilaksanakan para sahabat dan Rasulullah.”

Dalam penggunaannya, apabila disebut kata Sunnah maka maknanya adalah jalan kebaikan saja. “Ia Ahlus Sunnah”, maka maknanya: ia adalah orang yang menempuh jalan yang lurus dan terpuji


b. Secara Syar’i

Makna Sunnah berbeda-beda tergantung dari disiplin ilmu apa kita memandangnya. Berikut ini beberapa definisi Sunnah menurut masing-masing disiplin ilmu:

1. Ulama Hadits: Ibnu Hajar mendefinisikannya sebagai apa yang datang dari Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir/penetapan/pendiaman maupun apa yang ingin beliau kerjakan. Ulama Hadits lain mendefinisikannya sebagai apa yang diterima dari Nabi baik perkataan, perbuatan, takrir, maupun sifat beliau, baik sifat fisik maupun akhlak atau dengan kata lain perjalanan hidup beliau baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi. Dengan artian ini, As Sunnah menjadi sinonim kata hadits, sumber hukum kedua dalam Islam.

2. Ulama Ushul Fiqih : Setiap yang datang dari Nabi [perintah] baik perkataan, perbuatan, maupun takrir beliau selama bukan Al Qur’an dan bisa menjadi dalil bagi sebuah hukum syar’i.

3. Ulama Fiqih : Sesuatu yang jelas /tegas dari Nabi namun tidak berhukum wajib. Sunnah dalam artian ini sinonim bagi kata mandub, mustahab. Dengan istilah Ulama Fikih lain, Sunnah adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.

4. Kata Sunnah juga dipakai untuk sesuatu yang berdasar pada dalil syar’i, baik dari dalil Al Qur’an, hadits Nabi maupun ijtihad sahabat. Ijtihad sahabat termasuk Sunnah berdasar hadits Nabi, “Ikutilah Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sesudahku.” Di antara Sunnah sahabat adalah mengumpulkan Al Qur’an yang berserakan ke dalam satu mushaf serta memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan orang-orang murtad. Sahabat Ali berkata, “Nabi menjilid (mencambuk) orang yang mabuk 40 kali demikian pula Abu Bakar. Umar menjilid orang yang minum minuman keras sebanyak 80 kali. Baik yang 40 maupun 80 kali itu sama-sama termasuk Sunnah.” [Muslim no. 1707, Ahmad I/82].

5. Kata Sunnah juga sering dipakai untuk anonim dari kata bid’ah. Suatu amalan disebut Sunnah bila ia sesuai dengan tuntunan wahyu/Rasulullah. Contohnya : kita katakan dzikir secara berjama’ah dengan suara keras sesudah shalat berjama’ah itu bid’ah (karena tidak dicontohkan oleh Nabi). Kata Sunnah juga sering dipakai untuk anonim dari kata Rafidzah/ Syi’ah. Bila disebut kata Ahlus Sunnah/sunni misalnya, maka maknanya lawan dari kata syi’i/rafidzi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam [Minhajus Sunnah 2/163] berkata, ”Lafal Ahlus Sunnah kadang dipakai bagi setiap orang yang mengakui kekhilafahan tiga khalifah [Abu Bakar, Umar, dan Utsman]. Dengan demikian semua kelompok termasuk di dalamnya kecuali Rafidzah.” Artian ini merupakan makna luas dari lafal Ahlus Sunnah bila disebutkan secara bebas tanpa ada pembatas/qarinah.

6. Pembahasan kita kali ini adalah bidang aqidah karena itu definisi yang akan kita pakai juga definisi Sunnah menurut para Ulama Aqidah. Ibnu Rajab dalam Kasyfu Kurbah menerangkan bahwa Sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabat beliau. Jalan mereka selamat dari syahwat dan syubhat [keraguan]. Karenanya Imam Sufyan Ats Tsauri berkata, “Berwasiatlah kepada Ahlus Sunnah dengan kebaikan karena mereka itu orang-orang yang asing (sangat sedikit).”

Imam Fudhail bin Iyadh juga mengatakan,” Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui bahwa segala yang masuk ke perutnya hanya yang halal saja.” Sebab, menjaga agar makanan yang dikonsumsi hanyalah makanan yang halal, merupakan salah satu sifat dan jalan yang selalu dijaga oleh Rasulullah dan para sahabat. Dalam perkembangannya, istilah Sunnah dipakai untuk aqidah yang benar dan bersih dari segala syubhat, seperti dalam masalah asma’ wa shifat, masalah taqdir, masalah keutamaan sahabat, dan lain-lain. Untuk menerangkan aqidah yang benar ini para ulama mengarang buku-buku yang mereka namakan buku As Sunnah, seperti karangan Imam Ahmad dan al Khalal. Sunnah yang sempurna adalah jalan yang bebas dari segala syubhat dan syahwat.

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa Sunnah adalah petunjuk yang Rasulullah dan para sahabat berada di atasnya baik berupa i’tiqad, ilmu, perkataan, maupun perbuatan. Itulah Sunnah yang wajib diikuti, pengikutnya terpuji dan orang yang menyelisihinya dicela.1

Dr. Al Buraikan menerangkan dengan baik sekali pengertian Sunnah ini dengan perkataan beliau, ”Makna Sunnah berarti mengikuti aqidah shahihah yang tsabitah {berdasar} pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.” Beliau juga mengatakan, ”Sunnah merupakan ungkapan untuk sikap ittiba’ (mengikuti) manhaj Al Kitab dan As-Sunnah An Nabawiyah dalam persoalan ushul dan furu’.”2

Berdasarkan penjelasan singkat di atas bisa kita pahami bahwa Ahlus Sunnah adalah orang yang mengikuti Sunnah dan berpegang teguh dengannya, yaitu para sahabat dan setiap muslim yang mengikuti jalan mereka sampai hari kiamat.

Ibnu Hazm berkata, ”Ahlus Sunnah adalah pengikut kebenaran. Selain mereka adalah ahlul bid’ah. Ahlus Sunnah adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dari kalangan tabi’in, lalu para Ulama Hadits, lalu para Ulama Fikih dari satu generasi ke generasi selanjutnya sampai hari ini dan juga masyarakat secara umum yang mengikuti mereka baik di belahan bumi barat maupun timur.”

Dari sini jelas bahwa Ahlus Sunnah adalah setiap muslim yang mengikuti jejak para sahabat. Ahlus Sunnah bukan monopoli golongan tertentu. Tidak benar bila sebagian kelompok umat Islam menganggap dirinya sebagai satu-satunya Ahlus Sunnah sedangkan kelompok lainnya bukan Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah juga bukan sekedar nama, namun lebih dari itu, ia merupakan manhaj, jalan hidup para sahabat. Janganlah kita terjebak dalam pengakuan/ dakwaan, karena ukurannya bukan nama, namun sesuai atau tidaknya jalan hidupnya dengan petunjuk Rasulullah dan para sahabat.


2. DEFINISI JAMA’AH
a. Secara Bahasa

Kata jama’ah secara bahasa berarti kelompok, bersatu, lawan dari kata berpecah belah. Dalam hadits banyak sekali disebutkan perintah untuk berjama’ah dan larangan untuk berpecah belah. Di antara hadits-hadits itu antara lain :

“ Siapa ingin tengah-tengahnya syurga hendaknya ia selalu berjama’ah karena setan itu bersama orang yang sendirian dan menjauh dari dua orang.” [Ahmad I/18, Tirmidzi no. 2165, Al Hakim I/114, dishahihkan Albani].

“ Barangsiapa melihat dari amirnya {kepala negara Islam} hal yang tidak ia senangi hendaknya ia bersabar karena siapa saja yang keluar dari jama’ah lalu mati maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” [Bukhari 7054 dan 7143, Muslim 1849].

Dalam hadits-hadits yang menerangkan perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan disebutkan bahwa golongan yang selamat hanya satu yaitu jama’ah, dalam riwayat lain Maa ana ‘alaihi wa ash-habi {apa yang saya dan para sahabatku berada di atasnya= jalan para sahabat}. [Misalnya, lihat Ahmad IV/102, Abu Daud 4597,Al Hakim I/128, Ad Darimi 2521, dishahihkan Albani dalam Shahihah 204].

b. Secara Syar’i

Dari sekian banyaknya perintah untuk berjama’ah yang disebutkan dalam hadits, bisa dipahami bahwa ahlul jama’ah berarti orang yang mengikuti jama’ah. Sekarang timbul pertanyaan, apa makna jama’ah yang dimaksudkan oleh hadits-hadits ini?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Secara global pendapat mereka bisa dikelompokkan menjadi lima pendapat, yaitu :

1. Yang dimaksud dengan jama’ah adalah generasi sahabat. Dalam hadits-hadits tentang jama’ah disebutkan bahwa yang selamat adalah “ Maa ana ‘alaihi wa ash-habi = apa yang saya dan para sahabatku berada di atasnya.” Ini merupakan pendapat khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan artian ini setiap orang yang beramal berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman generasi sahabat bisa disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

2. Yang dimaksud dengan jama’ah dalam hadits-hadits di atas adalah para Ulama Mujtahidin dari kalangan Ulama Hadits, Ulama Fikih, dan ulama-ulama lain. Artinya Ulama Mujtahidun menjadi panutan masyarakat. Bila masyarakat tidak mengikuti mereka akan tersesat. Yang berpendapat demikian adalah Imam Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahawih, Imam Tirmidzi, para Ulama Ushul Fikih dan sekelompok Ulama Salaf. Di antara para ulama belakangan yang berpendapat demikian ini adalah Imam Muhammad Syamsul Haqq Adzim Abady, ulama yang mensyarah/menjelaskan Sunan Abu Daud dalam bukunya yang terkenal Aunul Ma’bud XII/342]. Perlu kita jelaskan disini bahwa ulama di sini bukan sembarang ulama. Ulama di sini adalah ulama yang benar-benar mengikuti Al Qur’an, As Sunnah dan petunjuk para sahabat. Itulah sebabnya para ulama semisal Yazid bin Harun, Ibnu Mubarak, Imam Ahmad, Ahmad bin Sinan, Ali Al Madini [guru imam Bukhari] dan Imam Bukhari menyebut mereka sebagai Ahlul Atsar wal Hadits/Ulama Hadits.

Maksud para ulama bukanlah membatasi bahwa yang namanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu hanyalah Ulama Hadits saja. Bukan, maksud mereka bukan demikian. Mereka hanya memberi contoh, bahwa Ulama Hadits termasuk pembesar/teladan dari kalangan Ahlus Sunnah, merekalah yang paling berhak disebut Ahlus Sunnah karena pada masa itu dan juga masa sekarang, Ulama Hadits lah yang paling mengetahui dan memahami Sunnah Rasulullah dan para sahabat. Pada kenyataannya, ada juga Ulama Hadits yang melenceng dari Sunnah Rasulullah, mereka ini tidak disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan demikian, patokannya bukanlah pakar dalam ilmu hadits-nya, namun mengikuti Sunnah Rasulullah atau tidaknya.

3. Ijma’. Yaitu kesepakatan umat Islam dalam suatu masalah tertentu. Bila seluruh umat Islam telah mengadakan ijma’ maka wajib bagi mereka untuk mengikutinya. Orang yang menyelisihinya tidak termasuk sebagai Ahlus Sunnah. Misalnya umat Islam telah sepakat tentang wajibnya Shalat lima waktu. Orang yang berpendapat bahwa Shalat lima waktu itu tidak wajib, maka ia tidak termasuk Ahlus Sunnah. Banyak para ulama yang mengembalikan pendapat ketiga ini kepada pendapat kedua karena pada dasarnya yang berijma’ itu bukan umat Islam namun para Ulama Mujtahidun.

4. Kelompok mayoritas umat Islam (as sawadhul a’dzam). Artinya jika suatu hal telah diyakini dan dijalankan oleh umat Islam maka yang menyelisihinya terhitung orang yang sesat dan bukan termasuk Ahlus Sunnah. Dengan catatan bahwa apa yang diyakini umat Islam ini benar-benar berlandaskan pada Al Qur’an dan As Sunnah. Pendapat ini pada dasarnya juga tidak berbeda dengahn pendapat sebelumnya. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Mas’ud al Anshari, Uqbah bin Amir bin Tsa’labah al Anshari dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhum. Pendapat ini dijelaskan oleh asy Syathibi, ”Dengan makna ini, maka yang termasuk dalam anggota jama’ah adalah para mujtahidin dan ulama serta orang-orang yang beramal dan berjuang berdasarkan syariat. Masyarakat umum juga termasuk karena mereka mengikuti para mujtahidin. Adapun kelompok selain mereka termasuk ahlul bid’ah dan tidak termasuk Ahlus Sunnah.”

5. Makna jama’ah adalah pemerintahan negara Islam/khilafah Islamiyah dengan seorang imam/khalifah. Siapa taat pada imam berarti mengikuti jama’ah dan siapa yang membangkang/memberontak berarti bukan Ahlus Sunnah/jama’ah. Orang yang mati dalam keadaan membangkang pada imam yang shah, maka ia mati seperti orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Yang berpendapat demikian adalah Ath Thabari, Ibnu Arabi, dan Al Mubarakfuri.

Dari kelima pendapat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa makna jama’ah pada dasarnya berkisar pada dua makna pokok :

1. Aspek Ilmiah

Yaitu bersepakat atas satu aqidah, satu manhaj yang benar yaitu Al Qur’an dan As Sunnah serta memahaminya sebagaimana pemahaman generasi sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama mujtahidin sesudahnya yang terpercaya terhadap kedua sumber Islam ini. Pendapat ini merangkum pendapat no. 1,2,3 dan 4. Dalam hal ini, jama’ah artinya mengikuti kebenaran meskipun kita sendirian, dan meninggalkan kebatilan meski kebatilan itu dianut oleh mayoritas manusia di muka bumi ini.

Ibnu Mas’ud berkata, ”Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski engkau sendirian.”

Al Lalikai juga berkata, ”Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah meski engkau sendirian.”

Abu Syamah juga menegaskan: ”Kapan ada perintah untuk selalu menetapi jama’ah maka maknanya adalah selalu mengikuti kebenaran meskipun yang berpegang teguh dengan kebenaran itu sedikit jumlahnya dan yang menyelisihi kebenaran itu banyak. Kebenaran adalah apa yang dibawa oleh jama’ah pertama yaitu Rasululah dan generasi sahabat. Kebenaran sama sekali tidak diukur dari banyaknya pengikut kebatilan setelah masa sahabat.”

Ibnu Abil Izz al Hanafi berkata: ”Jama’ah adalah jama’ah muslimin yaitu para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat nanti.” Imam al Barbahari mengatakan: ”Pedoman yang kami terangkan adalah bahwa jama’ah adalah para sahabat Rasulullah. Mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dr Abdul Karim Aql berkata, ”Jama’ah berarti salafnya [leluhur, nenek moyang] umat ini yaitu sahabat, tab’in, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat nanti. Mereka berkumpul di atas Al Kitab, As Sunnah, dan atas imam-imam mereka, serta orang-orang yang berjalan di atas jalan Rasulullah, sahabat, dan pengikut mereka dengan baik.”

Asy Syathibi berkata: ”Sudah jelas bahwa jama’ah dengan makna ini tidak mensyaratkan banyak sedikitnya pengikut, tapi yang disyaratkan adalah sesuai tidaknya dengan kebenaran sekalipun diselisihi oleh mayoritas umat manusia. Karena itu ketika Abdullah ditanya tentang jama’ah yang harus diikuti, beliau menjawab,” Abu Bakar dan Umar.” Beliau tetap menyebutkan beberapa nama sampai menyebut nama Muhammad bin Tsabit dan Husain bin Waqid. Orang yang bertanya berkata: ”Mereka semua telah mati, siapa yang masih hidup?” Beliau menjawab: ”Abu Hamzah As-Syukri.”

Nu’aim bin Hamad berkata,” Jika jama’ah/masyarakat telah rusak maka ikutilah apa yang jama’ah pertama [sahabat] berada di atasnya, karena jama’ah itu adalah apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.”

Abu Ya’kub Ishaq bin Rahawaih ditanya: ”Siapa kelompok mayoritas [As- sawadu al a’dzam] itu ?” Beliau menjawab: ”Muhammad bin Aslam dan para pengikutnya.” Kalau kau bertanya pada orang-orang bodoh tentang kelompok mayoritas tentulah mereka menjawab: ”Jama’atun Nas [mayoritas masyarakat]. Mereka itu tidak tahu bahwa yang dimaksud dengan jama’ah adalah ulama yang berpegang teguh kepada atsar Nabi dan jalan beliau. Siapa saja yang mengikuti ulama ini, itulah yang disebut al jama’ah.”

Dr. Al Aql menyebutkan: ”Tidak berarti Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu mayoritas manusia – kecuali pada masa sahabat dan tabi’in karena pada masa itu mayoritas manusia berada di atas kebenaran karena mereka selalu dibina oleh Rasul dan mereka dekat dengan masa nubuwwah. Adapun sesudah masa mereka, ukuran banyak tidaknya pengikut tidak menjadi patokan bagi benar tidaknya manusia, karena keumuman dalil-dalil yang menunjukkan banyaknya keburukan, perpecahan umat menjadi tujuh puluh tiga golongan, Islam akan kembali asing dll..---selama mereka tidak berada di atas kebenaran.”

Dr. Al Hindawi berkata: ”Jama’ah dengan makna ini baru diketahui para pengikutnya dengan sikap mereka yang berpegang teguh dengan ushulud dien [pokok-pokok ajaran dien] yang diwariskan oleh salafnya umat ini [sahabat] yang mengikuti Nabi dan para sahabat.”

2. Aspek politik

Berjama’ah artinya berkumpul dan hidup di bawah sebuah negara Islam, di bawah kepemimpinan seorang imam/khalifah yang sah secara syar’i. Ini merupakan pendapat kelima dalam makna jama’ah seperti yang kita terangkan di atas. Selain para Ulama Salaf yang telah kita sebutkan di atas, para Ulama Mua’shirin juga menyebutkan hal ini. Dr Ridha Na’san al Mu’thi dalam tahqiq dan dirasahnya atas kitab al Ibanah ‘an Syari’ati al Firqah an Najiyah karangan Ibnu Bathah mengatakan: ”Bab ini menguatkan bahwa berjama’ah itu wajib dan keluar dari jama’ah itu tidak boleh, baik jama’ah dalam artian berkumpulnya umat Islam di bawah kepemimpinan seorang imam maupun berkumpulnya umat Islam di atas satu aqidah.”


3. DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Seperti telah dijelaskan, Sunnah merupakan ungkapan kesetiaan mengikuti manhaj Al Qur’an dan Sunnah dalam segala dimensinya, baik yang prinsipil maupun yang bukan prinsipil (furu’).

Sedang kata Jama’ah berarti orang-orang yang berkumpul. Tapi yang dimaksud dengan jama’ah dalam terminologi syari’at Islam adalah Rasulullah SAW, para sahabatnya, para tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Rasulullah SAW telah ditanya tentang siapakah yang termasuk ‘golongan yang selamat’. Maka beliau terkadang menjawab: “Yang mengikuti aku dan para sahabatku”, tapi di lain waktu beliau menjawab: “Al Jama’ah.”

Dengan demikian maka yang dimaksud “Ahlus Sunnah wal Jama’ah’ sebagai kata majemuk adalah orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah SAW bersama para sahabat, tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti mereka dentgan baik hingga hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الْخُلَفاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي عُضُّوْا عَلَيْهِ بِالنَّوَاجِدِ

“Hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus sesudahku, gigitlah ia dengan gigi gerahammu.” (Hadits Shahih) .


Sebab Penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah :

Menurut Ibnu Taimiyyah, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah madzhab yang sudah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Ahlus Sunnah adalah madzhab sahabat yang diterima dari Nabi mereka yaitu Muhammad SAW. Barang siapa menentang itu, menurut pandangan Ahlus Sunnah berarti ia pembuat bid’ah. 2

Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan kelanjutan dari jalan hidup Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Kalaupun bangkit seorang imam- pada zaman fitnah dan keterasingan Ahlus Sunnah- yang menyeru manusia kepada aqidah yang benar dan memerangi pendapat yang menentangnya, maka ia tidaklah membawa sesuatu yang baru. Ia hanya memperbaruhi madzhab Ahlus Sunnah yang sudah usang dan menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab aqidah dan sistemnya (manhaj) walau bagaimanapun tak akan pernah berubah.

Dan jika pada suatu masa atau disuatu tempat terjadi penisbatan madzhab Ahlus Sunnah terhadap seorang Ulama’ atau mujaddid (pembaharu), maka hal itu bukan karena ulama tersebut telah menciptakan sesuatu yang baru atau mengada-ada. Pertimbangannya semata-mata karena ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada As Sunnah.

Adapun mengenai awal penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Ahlul Hadits ialah ketika terjadinya perpecahan dengan munculnya berbagai golongan sesat serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahlus Sunnah menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada hakekatnya, mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang dijalankan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Al Isfirayaini menyebutkan bahwa dinamakan Ahlus Sunnah karena mengikuti jalan/petunjuk/Sunnah Rasulullah. Nama tersebut sebagai pembeda dari firqah-firqah sesat yang menyimpang dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW dan sudah tersebar luas ketika itu.



II. NAMA-NAMA LAIN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

1. AHLUL HADITS

Hadits adalah ucapan Rasulullah SAW . Ahlul Hadits adalah orang-orang yang dinisbatkan kepada orang yang menjadikan hadits Rasulullah SAW sebagai salah satu sumber penerimaan Aqidah Islam yang benar. Dalam hal ini sama saja apakah mereka itu Ulama Hadits atau Ulama Fikih atau Ulama Ushul Fikih atau orang-orang yang zuhud atau lainnya.

Penamaan mereka sebagai Ahlul Hadits dimaksudkan untuk membedakannya dengan Ahlul Kalam yang menganggap bahwa kalam mereka harus didahulukan atas hadits Rasulullah SAW dalam bidang aqidah. Alasannya hadits itu hanya memberikan indikasi yang bersifat hipotesis (zhanni)’ sedang akal mereka memberi indikasi yang bersifat yakini (mutlak), dan yang dituntut dalam masalah aqidah adalah yang bersifat yakini (mutlak). Dengan demikian hadits-hadits Rasulullah SAW dalam bidang aqidah sama sekali tidak berguna.

Ahlul Hadits semakna dengan Ahlus Sunnah, artinya mereka ini kelompok umat Islam yang paling berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah dan Jama’ah. Karenanya Imam Ahmad mengatakan: “Kalau mereka (Jama’ah) itu bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.” Imam Abu Ismail Ash Shabuni dalam kitab beliau yang berjudul Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, menyatakan: “…Mereka itu mengikuti Nabi SAW dan para sahabat beliau yang mereka itu laksana bintang. Mereka mengikuti salafus shalih dari kalangan imam-imam dalam dien ini dan ulama kaum muslimin dan berpegang teguh dengan apa yang para ulama berpegang teguh padanya, yaitu dien yang kuat dan kebenaran yang nyata dan membenci ahlul bid’ah yang membuat bid’ah dalam dien, tidak mencintai mereka dan tidak pula bersahabat dengan mereka.”

2. AHLUL ATSAR

Secara bahasa
Kata Atsar maknanya bekas, sisi, atau pengaruh.

Secara Syar’i
Ada dua pendapat dalam hal ini :

Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits, sunnah, dan atsar itu makannya sama.

Ulama Khurasan menyebutkan bahwa atsar khusus untuk perkataan dan perbuatan sahabat dan tabi’in. Sedang untuk Nabi, mereka menyebutnya dengan hadits atau sunnah.

Namun demikian pendapat mayoritas ulama lebih kuat, dikatakan: ‘Atsartu hadiitsan’, artinya: aku meriwayatkan sebuah hadits2. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Al Iraqi dan Ibu Hajar.

Maka dalam hal ini, Ahlus Sunnah sering juga disebut dengan Ahul Atsar. Ahlus Sunnah disebut dengan Ahlul Atsar karena mereka mengikuti atsar-atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah dan para sahabat.

3. SALAF

Secara Bahasa

Ibnu mandur berkata: “Salaf merupakan jamak dari kata salif. Salif artinya orang yang terdahulu sesuai urutan waktu (pendahulu, nenek moyang). Salaf artinya jama’ah (kelompok pendahulu). Salaf juga bermakna para pendahulu dari bapak-bapakmu dan kerabatmu yang secara umur dan kemuliaannya lebih tinggi darimu.

Secara Syar’i

Para ulama menyatakan bahwa makna salaf tidak jauh dari makna sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dari kalangan para ulama, dan imam terpercaya yang telah diakui keilmuan dan ittiba’nya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Yaitu para ulama yang tidak terkena tuduhan bid’ah baik bid’ah mufassiqah ataupun mukaffirah1

Abdul Hadi Al Mishri berkata : « Salaf berarti istilah yang dipakai untuk para imam terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in yang disebutkan dalam hadits Rasulullah : « Sebaik-baik generasi adalah… » Setiap orang yang beriltizam dengan aqidah, fikih, dan ushul (pokok-pokok pegangan) para ulama tadi maka ia dinisbahkan kepada salaf juga, sekalipun antara ia dengan mereka ada perbedaan ruang dan waktu. Sebaliknya setiap yang menyelisihi mereka tidak disebut sebagai salaf sekalipun ia hidup di tengah-tengah mereka dan dikumpulkan oleh ruang dan waktu yang sama. »

4. FIRQAH NAJIYAH (Golongan yang Selamat)

Selain Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan salaf; Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga sering disebut dengan Firqah Najiyah, didasarkan pada hadits-hadits yang menerangkan akan pecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, di mana 72 golongan akan tersesat dan yang selamat (najiyah) hanya satu saja yaitu ‘ma ana ‘alaihi wa ash-habi’ (apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya – jama’ah dengan artian ilmu (mengikuti kebenaran), Ahlus Sunnah – dan dalam lafal lain disebutkan ‘Jama’ah’.

5. THAIFAH MANSHURAH (Kelompok yang Menang, Ditolong Allah)

Nama lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah adalah Thaifah Manshurah. Banyak hadits-hadits yang menyebutkan hal ini.

Di antara hadits-hadits tersebut adalah yang diriwayatkan oleh sahabat Mughirah dari Nabi bahwa beliau bersabda: “Akan senantiasa ada manusia dari umatku yang menang (berada di atas kebenaran – pent) sampai datang kepada mereka urusan (keputusan) Allah sedang mereka dalam keadaan dhahirin (menang).”

Golongan yang mendapat pertolongan sebagaimana yang disebut dalam hadits-hadits Rasulullah SAW adalah golongan pejuang dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memang layak untuk memperoleh pertolongan Allah, baik secara moral maupun material. Pertolongan Allah itu misalnya: ilmu yang shahih, perilaku yang lurus terhadap sunnah-sunnah Allah di alam semesta, serta melaksanakan hal-hal yang dijadikan Allah sebagai wasilah untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika tidak, atau jika hanya sekedar iman dan mengikuti aqidah Ahlus Sunnah tanpa menjalankan hal-hal yang bisa mendatangkan kemenangan serta tanpa menjalankan sunnah-sunnah Allah di alam semesta – dengan tidak melebihkan seseorang atas selainnya – maka Allah tidak akan menjamin pertolongan, kemenangan, dan kekuasaan di muka bumi, sebagaimana telah dijanjikan-Nya buat hamba-hamba-Nya yang shaleh dan ikhlash.

Maka jelaslah bahwa golongan yang mendapat pertolongan itu adalah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Golongan ini selalu melaksanakan fikih yang shahih yang mengacu pada Salaf dan para Imam. Golongan ini senantiasa menjalankan hal-hal yang bisa mendatangkan kemenangan sehingga sudah selayaknya Allah memberi mereka pertolongan. Mereka juga sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang menentang, meremehkan, atau merendahkan mereka.

III. AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Aqidah ini disebut dengan Aqidah Ahlus Sunnah karena para penganutnya selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah SAW, dan disebut dengan Aqidah Ahlul Jamaah karena aqidah ini merupakan aqidah penganut Islam yang berkumpul dalam kebenaran dan tidak berpecah-pecah dalam dien. Mereka senantiasa mengikuti manhaj imam-imam yang haq dan tidak keluar darinya dalam setiap urusan-urusan aqidah. Mereka adalah Ahlul Atsar, Ahlul Hadits, At Thaifah Al Manshurah dan Al Firqah An Najiyyah.

Ibnu Taimiyyah menyebutkan: “Inilah aqidah golongan yang selamat lagi tertolong hingga hari kiamat- Ahlus Sunnah wal Jamaah-, yaitu: beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari berbangkit setelah mati, dan beriman kepada taqdir Allah yang baik maupun yang buruk.

Ahlus Sunnah wal Jamaah menyepakati prinsip-prinsip penting (Al Ushul) yang kemudian menjadi ciri dan inti aqidah mereka. Yaitu:

1. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamah tentang sifat-sifat Allah: Itsbat bila takyif (menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menanyakan bagaimananya) dan mensucikan sifat-sifat-Nya tanpa mengingkarinya.

2. Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan aqidah mereka tentang Al Qur’an, bahwa Al Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluq.

3. Ahlus Sunnah wal Jamaah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di syurga dengan kedua mata mereka.

4. Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapapun di alam dunia ini.

5. Mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah SAW.

6. Mengimani qadar Allah dengan segala tingkatannya.

7. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa iman adalah ucapan, dan perbuatan. Dapat bertambah dan berkurang.

8. Ahlus Sunnah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan.

9. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus.

10. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasulullah, ahlul bait, dan isteri-isteri beliau tanpa meyakini adanya kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah.

11. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempercayai adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada mereka.

12. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersepakat untuk memerangi siapapun yang keluar dari syari’at Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.

13. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun durhaka, demi menegakkan syari’at Islam.


IV. CIRI-CIRI KHUSUS AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan firqah-firqah sesat, di antaranya adalah :

1. Selalu menaruh perhatian terhadap Al Qur’an dengan cara menghafal, membaca, dan menelaah tafsirnya. Begitu juga terhadap Al Hadits dengan cara mengetahui yang shahih dari yang dhaif. Karena keduanya adalah merupakan Masdarut Talaqi.

2. Masuk ke dalam dienul Islam secara keseluruhan.

3. Berittiba’ kepada Rasulullah SAW dan meninggalkan bid’ah serta selalu berjamaah dan meninggalkan firqah dan segala perselisihan dalam dien.

4. Meneladani para Imam yang mendapat petunjuk dan adil. Yang selalu diteladani dalam masalah ilmu, amal, dan da’wahnya, yaitu para sahabat dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

5. At Tawasuth (pertengahan). Dalam masalah aqidah, mereka berada di pertengahan antara golongan yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan tafrith (menganggap remeh).

6. Selalu berusaha untuk menyatukan kalimat kaum muslimin dalam kebenaran dan menyatukan shaf mereka dalam barisan tauhid dan ittiba’ serta menjauhkan diri dari sarana yang mengarah kepada perselisihan dan perpecahan di antara ummat.

7. Melaksanakan dakwah ilallah dalam segala bidang baik aqidah, ibadah, akhlaq, dan segala permasalahan hidup. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, berjihad di jalan Allah, menghidupkan sunnah dan menegakkan hukum Allah di muka bumi.

8. Bersikap inshaf dan adil .

9. Ahlus Sunnah memikul amanat ganda: pertama adalah amanat ilmu berupa iltizam, dakwah, dan jihad; sedang yang kedua adalah amanat untuk memelihara keutuhan jamaah Islam dalam pengertian yang luas.

10. Loyalitas Ahlus Sunnah hanya dalam kebenaran

11. Saling memberikan loyalitas kepada sesama mereka dengan loyalitas secara umum dan saling memaafkan.

12. Dalam memberikan dukungan dan permusuhan adalah berdasarkan prinsip ad dien.

13. Ahlus Sunnah beramal berdasarkan kesatuan hati dan kesamaan kalimat.


V. TOKOH-TOKOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Mereka adalah para sahabat -yaitu yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pernah melihat beliau, dan mati dalam keadaan Islam-, para tabi’in, atbaa’ut taabi’in dan juga orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka serta mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

Di antara tokoh-tokoh sahabat adalah: para Khulafaaur Rasyidin, sepuluh orang yang sudah dijamin masuk jannah, Ahlul Badar, Ahlu Uhud, dan Ahlu Bai’atur Ridwan. Di antara tokoh-tokoh tabi’in: Uwais Al Qarny, Said bin Al Musayyib, Urwah bin Az Zubair, Saalim bin Abdullah bin Umar, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud, Muhammad bin Al Hanafiyyah, Ali bin Al Hasan Zainal Abidin, Al Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar As Shidiq, Al Hasan Al Bashary, Muhammad bin Sirrin, Umar bin Abdul Aziz, dan Muhammad bin Syihab Az Zuhri. Sedangkan di antara tokoh-tokoh Atbaa-ut Tabi’in adalah: Malik bin Anas, Al Auzaa’iy, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, dan Allaits bin Sa’id.

Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka, di antara tokoh-tokohnya adalah: Abdullah bin Mubarak, Waki’, As Syafi’i, Abdurrahman bin Mahdiy, dan Yahya bin Sa’id Al Qathan. Kemudian para murid mereka yang mengikuti manhaj mereka, di antara tokoh-tokohnya adalah: Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, dan Ali bin Al Madaniy. Kemudian murid-murid mereka di antaranya adalah: Al Bukhary, Muslim, Abu Hatim, Abu Zur’ah, At Tirmidzi, Abu Daud, dan An Nasa’i.

Kemudian orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka, selanjutnya dari generasi-generasi yang menyusul mereka seperti: Ibnu Jarir At Thabariy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah, Al Khatib Al Baghdadiy, Ibnu Abdil Bar, Abdul Ghanny Al Maqdisy, Ibnu As Shalah, Ibnu Taimiyyah, Al Mizzy, Ibnu Katsir, Ad Dzahabiy, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, dan Ibnu Rajab Al Hanbaliy.

Kemudian orang yang menyusul mereka dan mengikuti jejak langkah mereka dalam berpegang teguh kepada Al Kitab dan As Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman para sahabat sampai datangnya hari kiamat. Dan orang yang terakhir dari mereka memerangi Dajjal1. Mereka itulah yang disebut dengan As Salaf Ahlul Hadits .

Wallahu A’lam bis Shawwab.

Musuh-musuh Iblis

mukmin
Suatu ketika Nabi Muhammad Saw didatangi iblis.
Rasulullah berkata ; “Hai iblis berapa banyakkah musuhmu dari umatku?”
Iblis menjawab, “lima belas,”

1. Engkau sendiri Muhammad

2. Pemimpin yang adil

3. Orang kaya yang merendah diri

4. Pedagang yang jujur

5. Orang alim yang mengerjakan sholat dengan khusyuk

6. Orang mukmin yang ahli nasehat

7. Orang mukmin yang kasih sayang

8. Orang yang tetap bertaubat

9. Orang yang menjauhkan diri dari segala yang haram

10. Orang mukmin yang selalu bersuci

11. Orang mukmin yang banyak sedekah

12. Orang mukmin yang bagus akhlaknya

13. Orang mukmin yang manfaat kepada orang lain

14. Orang yang hafal Al Qur’an serta selalu membacanya

15. Orang yang berdiri mengerjakan shalat di waktu malam sedang orang-orang tidur.


Semoga Kita semua senantiasa dilindungi oleh Allah SWT dan termasuk golongan Orang-orang yang di selamatkan oleh Allah SWT dari segala godaan dan tipu daya Iblis beserta kroni-kroninya. Amiiin.....

Surga Allah

penerbit buku
“Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”.

Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”.

Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”.

Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”.

Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.



Jadi ... :

Sholat kita, puasa kita, dan semua amal ibadah serta taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat dan Ridho Allah. Dengan rahmat dan Ridho Allah itulah kita mendapatkan surga Allah,Insya Allah, Amiin.

Tanda-tanda Kematian




Tanda-Tanda Saat-Saat Kematian

“Bagaimana kamu kufur (ingkar) dengan Allah dan adalah kamu itu mati maka kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan kemudian kamu dihidupkan kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan” (Surah Al-Baqarah : Ayat 28)


Adapun tanda-tanda kematian mengikut ulama' adalah benar dan ujud cuma amalan dan ketakwaan kita saja yang akan dapat membedakan kepekaan kita kepada tanda-tanda ini.

Rasulallah SAW diriwayatkan masih mampu memperlihat dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara langsung tentang menghadapi sakaratul maut dari awal hingga akhir hayat Baginda.

Imam Ghazali rahimahullah diriwayatkan memperolehi tanda-tanda ini sehingga beliau mampu menyediakan dirinya untuk menghadapi sakaratulmaut secara sendirian. Beliau menyediakan dirinya dengan segala persiapan termasuk mandinya, wudhu'nya serta kain kafannya sekali cuma ketika sampai bagian tubuh dan kepala saja. beliau telah memanggil abangnya yaitu Imam Ahmad Ibnu Hambal untuk menyambung tugas tersebut. Beliau wafat ketika Imam Ahmad bersedia untuk mengkafankan bahagian mukanya.


Adapun riwayat-riwayat ini memperlihatkan kepada kita sesungguhnya Allah SWT tidak pernah berlaku dzalim kepada hambanya. Tanda-tanda yang diberikan adalah untuk menjadikan kita umat Islam supaya dapat bertaubat dan bersedia dalam perjalanan menghadap Allah SWT Walau bagaimanapun semua tanda-tanda ini akan berlaku kepada orang-orang Islam saja lain halnya dengan orang-orang kafir yaitu orang yang menyekutukan Allah nyawa mereka ini akan terus di rentap tanpa peringatan apapun sesuai dengan kekufuran mereka kepada Allah SWT.





Adapun tanda-tanda ini terbagi beberapa keadaan:

Tanda 100 hari sebelum hari mati.

Ini adalah tanda pertama dari Allah s.w.t. kepada hambanya dan hanya akan disedari oleh mereka-mereka yang dikehendakinya. Walaubagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini cuma samada mereka sedar atau tidak sahaja. Tanda ini akan berlaku lazimnya selepas waktu Asar. Seluruh tubuh iaitu dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan mengigil.

Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lazat dan bagi mereka sedar dan berdetik di hati bahawa mungkin ini adalah tanda mati maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sedar akan kehadiran tanda ini.

Bagi mereka yang tidak diberi kesedaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan lenyap begitu sahaja tanpa sebarang munafaat. Bagi yang sedar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah peluang terbaik untuk memunafaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati.


Tanda 40 hari sebelum hari mati

Tanda ini juga akan berlaku sesudah waktu Asar. Bahagian pusat kita akan berdenyut-denyut. Pada ketika ini daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pokok yang letaknya di atas Arash Allah s.w.t. Maka malaikatmaut akan mengambil daun tersebut dan mula membuat persediaannya ke atas kita antaranya ialah ia akan mula mengikuti kita sepanjang masa.

Akan terjadi malaikatmaut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas lalu dan jika ini terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung seketika. Adapun malaikatmaut ini wujudnya cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabutnya.


Tanda 7 hari

Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah kesakitan di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba ia tak berselera untuk makan.
Tanda 3 hari

Pada ketika ini akan terasa denyutan di bahagian tengah dahi kita iaitu diantara dahi kanan dan kiri. Jika tanda ini dapat dikesan maka berpuasalah kita selepas itu supaya perut kita tidak mengandungi banyak najis dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan kita nanti.

Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan jatuh dan ini dapat dikesan jika kita melihatnya dari bahagian sisi. Telinganya akan layu dimana bahagian hujungnya akan beransur-ansur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.

Tanda 1 hari

Akan berlaku sesudah waktu Asar di mana kita akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang iaitu di kawasan ubun-ubun di mana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu Asar keesokan harinya.

Tanda Akhir

Akan berlaku keadaan di mana kita akan merasakan satu keadaan sejuk di bagian pusat dan ianya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bahagian halkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap dua kalimat syahadat dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikat maut untuk menjemput kita kembali kepada Allah SWT yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan mematikan pula. Seelok-eloknya bila sudah merasa tanda yang akhir sekali, mengucap dalam keadaan diam and jangan lagi bercakap-cakap.


Sesungguhnya marilah kita bertaqwa dan berdoa kepada Allah s.w.t. semoga kita adalah di antara orang-orang yang yang dipilih oleh Allah yang akan diberi kesedaran untuk peka terhadap tanda-tanda mati ini semoga kita dapat membuat persiapan terakhir dalam usaha memohon keampunan samada dari Allah s.w.t. mahupun dari manusia sendiri dari segala dosa dan urusan hutang piutang kita.

Walau bagaimanapun sesuai dengan sifat Allah s.w.t. yang Maha Berkuasa lagi Maha Pemurah lagi maha mengasihani maka diriwatkan bahawa tarikh mati seseorang manusia itu masih boleh diubah dengan amalan doa iaitu samada doa dari kita sendiri ataupun doa dari orang lain. Namun semuanya adalah ketentuan Allah s.w.t. semata-mata.


Oleh itu marilah kita bersama-sama berusaha dan berdoa semoga kita diberi hidayah dan petunjuk oleh Allah s.w.t. serta panjang umur dan keseihatan badan dan juga fikiran dalam usaha kita untuk mencari keridhaan Allah SWT selama di dunia maupun akhirat. Apa yang baik dan benar itu datangnya dari Allah s.w.t. dan apa yang salah keliru dan lupa itu adalah dari kelemahan manusia itu sendiri.


Siapkah Bekal Anda menuju AKhirat-Nya.

"Astaghfirullahal 'Adziim, min kulli dzanbin 'adzim..."

Refleksi Kematian

Baginda Rasullullah s.a.w. bersabda: “Apabila telah sampai ajal seseorang itu maka akan masuklah satu kumpulan malaikat ke dalam lubang-lubang kecil dalam badan dan kemudian mereka menarik rohnya melalui kedua-dua telapak kakinya sehingga sampai kelutut. Setelah itu datang pula sekumpulan malaikat yang lain masuk menarik roh dari lutut hingga sampai ke perut dan kemudiannya mereka keluar. Datang lagi satu kumpulan malaikat yang lain masuk dan menarik rohnya dari perut hingga sampai ke dada dan kemudiannya mereka keluar. Dan akhir sekali datang lagi satu kumpulan malaikat masuk dan menarik roh dari dadanya hingga sampai ke kerongkong dan itulah yang dikatakan saat nazak orang itu.”


Sambung Rasullullah s.a.w.. lagi: “Kalau orang yang nazak itu orang yang beriman, maka malaikat Jibrail A.S. akan menebarkan sayapnya yang disebelah kanan sehingga orang yang nazak itu dapat melihat kedudukannya di syurga. Apabila orang yang beriman itu melihat syurga, maka dia akan lupa kepada orang yang berada disekelilinginya. Ini adalah kerana sangat rindunya pada syurga dan melihat terus pandangannya kepada sayap Jibrail A.S.”

Kalau orang yang nazak itu orang munafik, maka Jibrail A.S. akan menebarkan sayap disebelah kiri. Maka orang yang nazak tu dapat melihat kedudukannya di neraka dan dalam masa itu orang itu tidak lagi melihat orang disekelilinginya. Ini adalah kerana terlalu takutnya apabila melihat neraka yang akan menjadi tempat tinggalnya.


Dari sebuah hadis bahwa apabila Allah s.w.t. menghendaki seorang mukmin itu dicabut nyawanya maka datanglah malaikat maut. Apabila malaikat maut hendak mencabut roh orang mukmin itu dari arah mulut maka keluarlah zikir dari mulut orang mukmin itu dengan berkata:


“Tidak ada jalan bagimu mencabut roh orang ini melalui jalan ini kerana orang ini sentiasa menjadikan lidahnya berzikir kepada Allah s.w.t.” Setelah malaikat maut mendengar penjelasan itu, maka dia pun kembali kepada Allah s.w.t. dan menjelaskan apa yang diucapkan oleh lidah orang mukmin itu. Lalu Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud: “Wahai malaikat maut, kamu cabutlah ruhnya dari arah lain.”


Sebaik saja malaikat maut mendapat perintah Allah s.w.t. maka malaikat maut pun cuba mencabut roh orang mukmin dari arah tangan. Tapi keluarlah sedekah dari arah tangan orang mukmin itu, keluarlah usapan kepala anak-anak yatim dan keluar penulisan ilmu.

Maka berkata tangan: Tidak ada jalan bagimu untuk mencabut roh orang mukmin dari arah ini, tangan ini telah mengeluarkan sedekah, tangan ini mengusap kepala anak-anak yatim dan tangan ini menulis ilmu pengetahuan.”


Oleh kerana malaikat maut gagal untuk mencabut roh orang mukmin dari arah tangan maka malaikat maut cuba pula dari arah kaki. Malangnya malaikat maut juga gagal melakukan sebab kaki berkata:


“Tidak ada jalan bagimu dari arah ini kerana kaki ini sentiasa berjalan berulang alik mengerjakan sholat dengan berjemaah dan kaki ini juga berjalan menghadiri majelis-majelis ilmu.”


Apabila gagal malaikat maut, mencabut roh orang mukmin dari arah kaki, maka malaikat maut cuba pula dari arah telinga. Sebaik saja malaikat maut menghampiri telinga maka telinga pun berkata: “Tidak ada jalan bagimu dari arah ini kerana telinga ini sentiasa mendengar bacaan Al-Quran dan zikir.”


Akhir sekali malaikat maut cuba mencabut orang mukmin dari arah mata tetapi baru saja hendak menghampiri mata maka berkata mata: “Tidak ada jalan bagimu dari arah ini sebab mata ini sentiasa melihat beberapa mushaf dan kitab-kitab dan mata ini sentiasa menangis kerana takutkan Allah.”


Setelah gagal maka malaikat maut kembali kepada Allah s.w.t. Kemudian Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud: “Wahai malaikatKu, tulis AsmaKu ditelapak tanganmu dan tunjukkan kepada roh orang yang beriman itu.” Sebaik saja mendapat perintah Allah s.w.t. maka malaikat maut menghampiri roh orang itu dan menunjukkan Asma Allah s.w.t.

Sebaik saja melihat Asma Allah dan cintanya kepada Allah S.W.T maka keluarlah roh tersebut dari arah mulut dengan tenang.


Abu Bakar R.A. telah ditanya tentang kemana roh pergi setelah ia keluar dari jasad. Maka berkata Abu Bakar R.A: “Roh itu menuju ketujuh tempat:-

1. Roh para Nabi dan utusan menuju ke Syurga Adnin.

2. Roh para ulama menuju ke Syurga Firdaus.

3. Roh mereka yang berbahagia menuju ke Syurga Illiyyina.

4. Roh para shuhada berterbangan seperti burung di syurga mengikut kehendak mereka.

5. Roh para mukmin yang berdosa akan tergantung di udara tidak di bumi dan tidak di langit sampai hari kiamat.

6. Roh anak-anak orang yang beriman akan berada di gunung dari minyak misik.

7. Roh orang-orang kafir akan berada dalam neraka Sijjin, mereka diseksa berserta jasadnya hingga sampai hari Kiamat.”

Telah bersabda Rasullullah s.a.w.: Tiga kelompok manusia yang akan dijabat tangannya oleh para malaikat pada hari mereka keluar dari kuburnya:-

1. Orang-orang yang mati syahid.

2. Orang-orang yang mengerjakan solat malam dalam bulan ramadhan.

3. Orang berpuasa di hari Arafah.


Perluasan Makna Fi Sabilillah Sebagai Mustahiq Zakat

Salah satu mustahiq zakat adalah fisabilillah. Dan sekarang banyak orang yang menafsirkan fisabilillah dengan tafsir yang yang sangat luas. Seperti untuk membangun lembaga pendidikan Islam, masjid dll. Intinya semua amal yang ada unsur di jalan Allah tidak masalah memakai dana zakat...?

Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi sabilillah. Perbedaan ini berangkat dari ijtihad mereka yang cenderung muwassain (meluaskan makna)dan mudhayyiqin (menyempitkan makna).

Sebagian ulama beraliran mudhayyiqin bersikeras untuk tidak memperluas maknanya, fi sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara pisik.

Sebagian ulama yang beraliran muwassa'in cenderung untuk memperluas maknanya sampai untuk biaya dakwah dan kepentingan umat Islam secara umum.

1. Pendapat Pertama

Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (hanafi, maliki, syafi'i dan hanbali) termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin), merekamengatakan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalahpara peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.

Di kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh Muhammad Abu Zahrah.

Perbedaannya bukan dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau metodologi istimbath ahkam. Yaitu sebuah metode yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqih dari sumber-sumber Al-Quran dan Sunnah.

Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama.Dalilnya karena di zaman Rasulullah SAW memang bagian fi sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid atau madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara pisik saja.

Para ulama jumhur mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.

Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.

Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.

Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat.

Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.

2. Pendapat Kedua

Sedangkan para ulama yang lain cenderug meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang pisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.

Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Farisdan Dr. Yusuf Al-Qradawi.

Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fiqih prioritas. Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihad fi sabilillah secara pisik boleh dibilang tidak terlalu besar. Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai perlu pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas muslim seperti di Amerika, Eropa dan Australia.

Siapa yang akan membiayai dakwah di negeri-negeri tersebut, kalau bukan umat Islam. Dan bukankah pada hakikatnya perang atau pun dakwah di negeri lawan punya tujuan yang sama, yaitu menyebarkan agama Allah SWT dan menegakkannya.

Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat itu memang diperluakan untuk biaya jihad. Tapi kalau kesempatan berdakwah secara damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana mungkin biaya zakat tidak boleh digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah sama saja?

Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, selain jihad secara pisik, juga termasukdi antaranya adalah:

1. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi sabilillah.

2. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.

3. Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah.

4. Membantu para du'at Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.

5. Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah

Apakah pergi haji termasuk kategori fi sabilillah?

Al-Hanabilah dan sebagian Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pergi haji ke baitullah itu masih termasuk kategori fi sabilillah. Mereka menggunakan dalil berikut ini:

Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor hewan untuk fi sabilillah, namun isterinya ingin pergi haji. Nabi SAW bersabda, "Naikilah, karena hajji itu termasuk fi sabilillah". (HR Abu Daud)

Maka seorang miskin yang berkewajiban haji berhak atas dana zakat, menurut pendapat ini. Asalkan hajinya haji yang wajib, yaitu haji untuk pertama kali. Sedangkan untuk haji yang sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak termasuk dalam kategori ini.

Tidak Harus Menggunakan Dana Zakat

Karena perdebatan para ulama cukup hangat dalam masalah ini, antara yang pro dan kontra, maka tidak ada salahnya kita berpikir positif dan mencari jalan tengah yang aman dan selamat.

Misalnya, ketimbang kita terlalu memaksakan hukum zakat untuk sekedar membiayai proyek dakwah, mengapa kita tidak pikirkan sumber-sumber dana lainnya?

Sebenarnya di luar sistem zakat, dalam syariat Islam ini masih ada begitu banyak jenis infaq yang lebih fleksibel dan efektif untuk diterapkan, dan yang penting tidak akan menimbulkan masalah dari segi hukum dan aturannya.

Syariat zakat memang agak kaku dan kurang fleksible untuk digunakan dalam banyak kebutuhan. Setidak-tidaknya, masih banyak kendala masalah khilafiyah di dalamnya, yang akan menimbulkan pertentangan.

Sebagai contohnya adalah masalah zakat profesi, yang hingga kini para ulama tidak sepakat. Sebagian ulama menginginkan diberlakukannya zakat profesi namun sebagian lainnya tidak setuju dengan keberadaan zakat itu.

Contoh yang paling aktual adalah apa yang anda tanyakan, yaitu tentang khilafiyah makna fi sabilillah. Sebagian ulama bersikeras tidak memaknai keluar dari konteks di zaman nabi, yaitu hanya untuk mereka yang ikut dalam perang pisik dan pertempuran saja. Sebagian lainnya berusaha memperluas maknanya hingga segala bentuk dakwah dianggap sudah termasuk fi sabilillah. Maka pak ustadz meski sudah kaya, juga dapat dana dari zakat. Karena pak ustadz dianggap termasuk orang yang dalam kategori fi sabilillah.

Tentu saja masalah ini adalah masalah yang kontroversial, tetapi terjadi tarik menarik dari mereka yang setuju dan yang tidak. Dan kalau kita coba dalami argumentasi masing-masing kalangan, rasanya kok sama-sama benarnya. Sehingga sulit buat kita untuk menyalahkan salah satunya.

Jenis Infaq Selain Zakat

Tapi satu hal yang patut diingat bahwa baitulmaldi masa Rasulullah SAW bukan bersumber dari zakat semata. Ada begitu banyak jenis infaq yang bukan zakat, dengan ketentuan yang jauh lebih elastis, fleksible dan sekaligus visible untuk dikembangkan secara modern di zaman sekarang.

Misalnya, syariat wakaf yang unik itu, di mana orang yang berinfaq sama sekali tidak kehilangan hartanya, kecuali dia hanya melepas keuntungannya. Atau cara yang lain lagi adanya kebolehan buat pelaksana (nadzir) suatu waqaf untuk mengambil bagian. Dan tidak ada ketentuan batasan prosentase.

Berbeda dengan zakat yang dibatasi untuk amilnya hanya maksimal 1/8 saja, syariat waqaf tidak mengenal batasan itu. Semua tergantung kepada kesepakaan antara mereka yang berwaqaf dengan yang menjadi amilnya (nadzir). Nadzir berhak untuk mengajukan sistem sendiri atas persetujuan pihak yang memberi waqaf. Tidak seperti amil zakat yang semua aturannya harus mengacu kepada ketentuan langsung dari langit.

Intinya, syariat waqaf itu jauh lebih mudah dan elastis. Tapi di akhirat sangat berguna.


Cara Agar Doa Terkabul

doa terkabul
Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab shodaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan.

"Kamu berdoa sudah bagus", kata Nabi SAW,

"Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan".

Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.