Virus Itu Bernama Riya'

Pada suatu waktu sahur, seorang abid membaca Al-Quran, surah “Thoha”, di biliknya yang berdekatan dengan jalan raya.
Selesai membaca, dia merasa sangat mengantuk, lalu tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi melihat seorang lelaki turun dari langit membawa sebuah Al-Quran. Lelaki itu datang menemuinya dan segera membuka kitab suci itu di depannya. Dibukanya surah “Thoha” dan disibaknya halaman demi halaman. Si abid melihat setiap kalimat surah yang dibacanya dicatat sepuluh kebajikan sebagai pahala bacaannya kecuali satu kalimat saja yang catatannya ditiadakan pahalanya. Lalu katanya, “Demi Allah, sesungguhnya telah aku baca seluruh surah ini tanpa meninggalkan satu kalimat pun. Tetapi mengapa catatan pahala untuk kalimat ini ditiadakan?”
“Benar apa yang engkau katakan. Engkau memang tidak meninggalkan kalimat itu dalam bacaanmu tadi. Malah, untuk kalimat itu telah kami catatkan pahalanya. ”Tetapi tiba-tiba kami mendengar suara yang menyeru dari arah ‘Arasy : ‘Hapus catatan itu dan gugurkan pahala untuk kalimat itu’. Maka sebab itulah kami segera menghapusnya”.
Si abid menangis dalam mimpinya itu dan berkata, “Mengapa tindakan itu dilakukan?”. Sebabnya adalah engkau sendiri. Ketika membaca surah itu tadi, seorang hamba Allah melewati jalan di depan rumahmu. Engkau sadar hal itu, lalu engkau meninggikan suara bacaanmu supaya didengar oleh hamba Allah itu. Kalimat yang tiada bercatatan pahala itulah yang telah engkau baca dengan suara tinggi itu”. Si abid terjaga dari tidurnya. “Astaghfirullaahal-’Azhim! Sungguh licin virus riya menyusup masuk ke dalam kalbuku dan sungguh besar celakanya. Dalam sekejap mata saja ibadahku dimusnahkannya.”
Riya berasal dari kata ru’yah (penglihatan) sebagaimana sum’ah berasal dari kata sam’u (pendengaran). Dari sekedar makna bahasa ini bisa difahami bahwa riya adalah sikap ingin diperhatikan atau dilihat orang lain. Dan para ulama mendefinisikan riya dengan ”menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada mereka.” Dari definisi ini jelas bahwa dasar perbuatan riya adalah untuk mencari penghargaan, pujian, kedudukan atau posisi di hati manusia semata dalam suatu amal kebaikan atau ibadah yang kita lakukan.
Sering keberadaan riya ini luput dari pengamatan dan perasaan seseorang dikarenakan begitu tidak kentaranya, sehingga ada yang mengibaratkan bahwa ia lebih halus daripada seekor semut hitam di atas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita. Padahal keberadaan riya dalam suatu amal amatlah berbahaya dikarenakan ia dapat menghapuskan pahala dari amal tersebut. Riya disebut sebagai penyakit yang bersifat lembut namun berdampak luar biasa. Bersifat lembut karena masuk dalam hati secara halus sehingga kebanyakan orang tak merasa kalau telah terserang penyakit ini. Berdampak luar biasa, karena bila suatu amalan dijangkiti penyakit riya maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah SWT dan pelakunya mendapat ancaman keras dari-Nya. Riya’ tak ubahnya seperti virus yang tak tampak oleh mata namun dapat membunuh sang penderita. Bila virus penyakit dapat membunuh jasad seseorang, virus riya dapat membunuh mata hati.
Tanpa kita sadari, tak jarang setiap perbuatan kita bersifat riya. Saat sholat sendiri di rumah, boleh jadi kita tidak melaksanakan sholat sunnah, namun ketika sholat berjamaah di masjid, tiba-tiba saja kita ingin melaksanakan sholat sunnah. Contoh lainnya, para public figure yang melakukan aksi sosial dengan liputan kamera para wartawan, seolah ingin menunjukkan kepada semua orang amal kebaikan yang dilakukannya.  Alangkah ruginya bila seseorang melakukan ibadah tetapi di hatinya ada setitik saja rasa show off, atau ingin dipuji. Amalan atau ibadah seperti ini tentu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali pujian dari manusia saja. Di mata Allah, amalan ini akan menjadi sia-sia dan tak bernilai, karena syarat diterimanya suatu amal adalah keikhlasan dan tidak keluar dari koridor syariat Islam.
Selain berbahaya sebagai penyakit yang bersifat lembut tapi berdampak luar biasa, riya’ juga disebut sebagai syirik kecil. Oleh karena itu Nabi SAW sangat khawatir bila penyakit ini menimpa umatnya. Nabi Muhammad SAW pun bersabda yang artinya: “Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau SAW menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari sahabat Mahmud bin Labid)
Beribadah kepada Allah merupakan hak Allah SWT yang bersifat mutlak. Bahwa ibadah itu murni untuk Allah SWT, tidak boleh dicampuri dengan niatan lain selain untuk-Nya. Sebagaimana peringatan Allah SWT dalam firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Karena sifatnya yang halus, maka riya’ menjadi salah satu cara setan menjerumuskan manusia ke dalam dosa. Untuk itulah manusia harus ekstra hati-hati. Kebiasaan sholat berjamaah dengan warga sekitar di masjid atau musholla terdekat adalah perilaku mulia, namun hati harus tetap dijaga agar tidak timbul niat untuk menunjukkan giatnya beribadah. Sedekah yang kita salurkan sebaiknya tanpa diketahui oleh orang lain agar tidak muncul hasutan setan untuk pamer. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)
Dalam konteks ayat di atas, Allah SWT mengingatkan akibat amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau yang menyakiti perasaan si penerima akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’, yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah SWT.
Ayat di atas tidak hanya mencela perbuatan riya saja, tentu celaan ini pun tertuju kepada pelakunya. Bahkan dalam ayat yang lain, Allah swt mengancam bahwa orang-orang yang berbuat riya’ akan mendapatkan kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak, sebagaimana yang tertuang dalam surah Al Mauun.
Ada sebuah kisah menarik yang tertulis dalam buku 9 Bidadari Bumi. Buku yang ditulis oleh Ustadzah Halimah Alaydrus ini mengisahkan beberapa kisah wanita yang hidup di masa kini yang terus berpegang teguh pada ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW. Diantara kisah-kisah tersebut terdapat sebuah kisah tentang Hubabah Bahiyyah, seorang wanita lanjut usia dan ahli beribadah. Menariknya, jika ada orang yang mengucapkan sanjungan dan memujinya, beliau langsung bersikap tidak bersahabat dan cenderung kasar. Orang yang tidak mengenalnya tentu akan menganggap beliau adalah seorang yang sombong dan tidak ramah, tetapi ternyata hal itu beliau lakukan agar ia tidak mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain yang dapat membuatnya menjadi tidak ikhlas dalam melaksanakan amal ibadah.
Menurut Imam Ghozali cara untuk menghilangkan penyakit riya adalah dengan cara menghilangkan sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan terhadap pujian orang lain dan marah jika mendapat celaan dari orang. Kita perlu membiasakan diri untuk menyembunyikan berbagai  amal ibadah yang kita lakukan. Kita juga  harus berusaha melawan berbagai bisikan setan untuk berbuat riya’ pada saat mengerjakan suatu ibadah. Semoga virus-virus riya’ yang barangkali selama ini tidak terasa berada diantara kita perlahan-lahan dapat lenyap dari hati kita dan digantikan oleh sifat ikhlas dan mengharap ridho Allah semata…….
Fatimah Azzahra Alattas, SE.

Ref: http://cahayanabawiyonline.com/?p=212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar