Keutamaan Surat Al-Kahfi

Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi, ia akan terjaga selama delapan hari dari setiap fitnah, jika Dajjal keluar dalam delapan hari Allah akan menjaganya dari fitnah Dajjal.” Hadis ini bersumber dari Ubay bin Ka’b dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi, ia tidak akan terkena bahaya fitnah Dajjal, barangsiapa yang membaca seluruh ayatnya ia akan masuk surga.” Hadis ini bersumber dari Sammarah bin Jundab dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Rasulullah saw bersabda:

“Maukah aku tunjukkan padamu suatu surat yang diikuti oleh seribu malaikat ketika diturunkan, dan keagungannya memenuhi antara langit dan bumi?” Sahabat menjawab: Mau. Rasulullah saw bersabda: “Surat Ashhabul Kahfi. Barangsiapa yang membacanya pada hari Jum’at, Allah akan mengampuni dosanya sampai Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari, diberi cahaya yang mencapai ke langit, dan akan terjaga dari fitnah Dajjal.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang menjaga sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi, ia akan memiliki cahaya pada hari kiamat.” Hadis ini bersumber dari Abu Darda’ dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, ia akan terjaga hingga tahun berikutnya dari setiap fitnah, dan jika Dajjal keluar ia akan terjaga darinya.” Hadis ini bersumber dari Said bin Muhammad Al-Jurmi dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (ra) berkata:

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi setiap malam Jum’at, ia tak akan mati kecuali mati syahid, Allah akan membangkitkannya sebagai orang yang syahid, dan pada hari kiamat ia akan bersama orang-orang yang syahid.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (ra) berkata:

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi setiap malam Jum’at, ia diampuni dosanya antara Jum’at dan Jum’at berikutnya.” Hadis ini bersumber dari Ayyub bin Nuh dari Muhammad bin Abi Hamzah dari Imam Ja’far Ash-Shadiq. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 242)

Keutamaan Surat Al-Mulk

Ibnu Abbas ra berkata: “Pada suatu hari ada seseorang menghampar jubahnya di atas kuburan dan ia tidak tahu bahwa tempat itu adalah kuburan, ia membaca surat Al-Mulk, kemudian ia mendengar suara jeritan dari kuburan itu: Inilah yang menyelamatkan aku. Kemudian kejadian itu diceriterakan kepada Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: Surat Al-Mulk dapat menyelamatkan penghuni kubur dari azab kubur.” (Ad-Da’awat Ar-Rawandi, hlm 279/817; Al-Bihar 82/ 64, 92/313/2, 102/269/

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Surat Al-Mulk adalah penghalang dari siksa kubur, surat ini termaktub di dalam Taurat, barangsiapa yang membacanya di malam hari ia akan memperoleh banyak manfaat dan kebaikan, …Sungguh aku membacanya dalam shalat sunnah sesudah Isya’ dalam keadaan duduk. Ayahku (ra) membacanya pada siang dan malam. Barangsiapa yang membacanya, maka ketika malaikat Munkar dan Nakir akan masuk ke kuburnya dari arah kedua kakinya, kedua kakinya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini berpijak padaku lalu ia membaca surat Al-Mulk setiap siang dan malam; ketika mereka datang kepadanya dari rongganya, rongganya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini telah menjagaku dengan surat Al-Mulk; ketika mereka datang kepadanya dari arah lisannya, lisannya berkata kepada mereka: kalian tidak ada jalan ke arahku, karena hamba ini telah membaca surat Al-Mulk setiap siang dan malam denganku.” (Al-Kafi 2/233/hadis 2)

Imam Muhammad Al-Baqir (ra): “Bacalah surat Al-Mulk, karena surat ini menjadi penyelamat dari siksa kubur.”

Daftar Mahram

Daftar mahram secara ringkas adalah sebagai berikut :

1. Mahram karena nasab

Ibu kandung dan kaum ibu yang mempunyai hubungan nasab dengan anda, misalnya nenek, ibunya nenek, dan seterusnya, baik dari pihak ibu ataupun dari pihak bapak

Anak wanita dan semua wanita yang memiliki hubungan nasab dengan anda, seperti : anak, cucu, anaknya cucu, dan seterusnya ke bawah.

Saudara kandung wanita

Bibi (saudara wanita ayah)

Bibi (saudara wanita ibu)

Anak wanita dari saudara laki-laki (keponakan)

Anak wanita dari saudara wanita (keponakan)

2. Mahram karena pernikahan

Ibu dari istri (ibu mertua)

Anak wanita dari istri (anak tiri)

Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan)

Istri dari ayah (ibu tiri)

3. Mahram karena penyusuan

Ibu yang menyusui

Ibu dari wanita yang menyusui (nenek)

Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek)

Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan)

Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui

Saudara wanita dari ibu yang menyusui.

Selain daftar di atas, ada juga mahram yang sifatnya hanya sementara. Hanya mengharamkan menikah dengannya, tetapi tetap tidak boleh melihat auratnya maupun berduaan dengannya. Misalnya yaitu istri teman/istri orang lain.

Sayangnya, masyarakat kita banyak yang tidak memahami hal ini. Saudara sepupu dianggap masih keluarga dekat, sehingga diperlakukan seperti saudara sendiri. Padahal sebenarnya bukan, sehingga haram bagi laki-laki dan wanita yang memiliki hubungan sepupu untuk :

1. Berduaan (berkhalwat) jika tanpa disertai mahram

2. Melihat auratnya

Dalam kitab Nizhamul Ijtimai fil Islam karya Syaikh Taqiyuddin an Nabhani bab Wanita-Wanita Yang Haram Dinikahi dijelaskan sebagai berikut :

Wanita-wanita yang haram dinikahi telah disebutkan pengharamannya dengan jelas di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Artinya, dasar pengharamannya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Di dalam al-Quran, Allah Swt. berfiman:

Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawin oleh bapak-bapak kalian, kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya tindakan semacam itu amat keji, dibenci Allah, dan jalan yang paling buruk. (QS an-Nisâ’ [4]: 22)

Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian; keponakan perempuan anak saudara laki-laki kalian; keponakan perempuan anak saudara perempuan kalian; mertua wanita kalian; anak-anak tiri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian pergauli—tetapi jika kalian belum menggauli istri kalian itu (sementara ia sudah kalian cerai), maka tidak kalian tidak berdosa mengawininya; menantu perempuan istri anak kandung kalian; upaya menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara—kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; dan para wanita yang telah bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki sebagaimana ketetapan Allah atas kalian. Di luar mereka adalah halal bagi kalian. (QS an-Nisâ [4]: 23-24)

Sementara itu, di dalam as-Sunnah terdapat riwayat dari Abû Hurayrah r.a. yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:

Janganlah seorang pria Muslim menghimpun seorang wanita dengan bibinya (dari pihak ibunya) atau bibinya (dari pihak bapaknya).

‘Aisyah r.a. juga menuturkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Rasulullah saw. bersabda demikian:

Sesungguhnya persusuan itu (akan) mengharamkan apa yang telah diharamkan melalui (sebab) kelahiran.

Dari kedua sumber di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

§ Sama sekali diharamkan menikahi ibu dan setiap wanita yang bernisbat (memiliki hubungan nasab) kepadanya melalui kelahiran, baik yang biasa disebut dengan ibu yang sebenarnya (ibu kandung) yang telah melahirkan anda, atau ibu dalam makna kiasan, yaitu wanita yang telah melahirkan ibu anda (nenek), dan begitu seterusnya. Di antara mereka adalah: kedua nenek anda, baik dari pihak ibu ataupun dari pihak bapak; kedua buyut anda, yakni nenek ibu anda dan nenek bapak anda; dan terus demikian silsilahnya hingga ke atas, baik yang mewarisi maupun yang tidak mewarisi. Semuanya disebut sebagai kaum ibu yang haram dinikahi.

§ Sama sekali diharamkan menikahi anak-anak perempuan anda dan setiap perempuan yang bernisbat (memiliki hubungan nasab) kepada anda melalui kelahiran, seperti: anak kandung perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan, dan begitu terus silsilahnya hingga ke bawah, baik yang mewarisi maupun yang tidak mewarisi. Semuanya disebut sebagai anak-anak perempuan yang haram dinikahi.

§ Haram secara mutlak menikahi saudara-saudara perempuan anda dilihat dari tiga aspek: dari ibu dan bapak kandung; dari bapak (saudara perempuan sebapak); dan dari ibu (saudara perempuan seibu).

§ Haram menikahi bibi dari pihak bapak, dilihat dari tiga sisi serta saudara perempuan kakek dan seterusnya hingga ke atas; baik dari pihak ibu ataupun dari pihak bapak; baik kakek dekat ataupun kakek jauh; baik yang mewarisi ataupun yang tidak mewarisi.

§ Haram menikahi bibi dari pihak ibu dilihat dari tiga sisi, serta saudara perempuan nenek dan seterusnya hingga ke atas. Sebab, setiap nenek memiliki ibu, dan setiap saudara perempuan nenek adalah bibi yang haram dinikahi.

§ Haram menikahi keponakan perempuan anak saudara laki-laki dan setiap wanita yang bernisbat (memiliki hubungan nasab) kepada saudara laki-laki melalui kelahiran. Mereka haram dinikahi dilihat dari sisi bahwa mereka juga saudara, begitu juga keponakan perempuan anak saudara perempuan.

§ Haram menikahi ibu-ibu persusuan, yaitu mereka yang telah menyusui anda. Begitu juga ibu-ibu serta nenek-nenek mereka dan seterusnya hingga ke atas, sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam pertalian nasab. Setiap wanita yang telah menyusui anda berarti ibu anda. Setiap kali anda menyusu kepada seorang wanita berarti ia adalah ibu anda. Setiap kali anda menyusu kepada seorang wanita, sementara wanita tersebut menyusui pula perempuan lain, atau ia meyusui anda sementara ia sendiri sepersusuan, meskipun hanya beberapa kali menyusu, berarti ia adalah saudara perempuan anda yang haram anda nikahi.

§ Haram menikahi ibu mertua. Siapa saja yang telah menikahi seorang wanita, berarti haram atas dirinya menikahi ibunya, baik karena adanya hubungan nasab ataupun karena persusuan; baik kerabat dekat ataupun jauh, semata-mata karena adanya akad; baik anaknya telah digaulinya ataupun belum. Dalam hal ini, ‘Amr ibn Syu‘aib telah menuturkan riwayat dari bapaknya, sementara bapaknya menerimanya dari kakeknya. Disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda sebagai berikut:

Siapa saja yang mengawini seorang wanita, kemudian ia menjatuhkan talak kepadanya sebelum ia menggaulinya, maka tidak menjadi soal jika ia mengawini anak tiri perempuan (dari mantan istrinya itu ), tetapi tidak halal baginya mengawini ibu mantan istrinya (mantan ibu mertuanya) itu.

§ Haram menikahi anak-anak tiri perempuan istri anda yang telah anda gauli. Mereka adalah anak tiri dan tidak haram untuk dinikahi, kecuali jika ibu-ibu mereka telah anda gauli. Termasuk ke dalam golongan ini adalah setiap anak tiri perempuan dari istri, baik karena adanya hubungan darah ataupun karena hubungan persusuan; baik hubungannya dekat ataupun jauh; baik mewarisi ataupun tidak mewarisi, sesuai dengan predikatnya sebagai anak-anak perempuan. Jika ibunya telah digauli, haram atas mantan suaminya mengawini anak mantan istrinya (mantan anak tirinya), baik ia berada dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Sebab, potongan ayat yang berbunyi demikian:

.…yang berada dalam pemeliharaan kalian

merupakan predikat yang diberikan sesuai dengan kegaliban faktanya, dan tidak menyimpang dari syarat-syarat yang dapat mengeluarkannya. Sebaliknya, potongan ayat yang berbunyi demikian:

….dari istri yang telah kalian pergauli

inilah yang telah mengeluarkannya, yang dijelaskan dengan gamblang oleh potongan ayat berikutnya yang berbunyi:

….tetapi jika kalian belum bercampur dengan istri kalian itu (sementara dia sudah kalian ceraikan), maka kalian tidak berdosa jika mengawininya. (QS an-Nisâ’ [4]: 23)

"Artinya, jika seorang pria belum menggauli istrinya (yang kemudian diceraikannya), maka ia tidak diharamkan mengawini anak perempuan dari mantan istrinya (mantan anak tirinya)."

§ Haram sama sekali mengawini menantu perempuan. Seorang pria haram mengawini istri dari anak laki-lakinya dan istri dari cucu laki-laki dari anak perempuannya, baik karena adanya hubungan darah ataupun karena hubungan persusuan; baik hubungannya dekat ataupun jauh, semata-mata karena akad; baik menantu perempuannya itu sudah digauli oleh anak laki-lakinya ataupun belum.

§ Haram mengawini istri-istri bapak (ibu tiri). Seorang pria haram mengawini ibu tirinya, baik hubungannya dekat ataupun jauh; mewarisi ataupun tidak mewarisi; baik karena adanya hubungan darah ataupun karena hubungan persusuan. Dalam hal ini, An-Nasâ’î menuturkan bahwa Barrâ’ ibn ‘Azib pernah berkata demikian:

Aku pernah bertemu dengan pamanku, sementara ia sedang membawa sebuah panji. Aku lalu bertanya kepadanya, “Apa yang engkau inginkan (dengan panji itu)?” Pamanku menjawab, “Aku telah diutus oleh Rasulullah saw. menjumpai seorang pria yang telah mengawini istri bapaknya (ibu tirinya) untuk aku penggal lehernya atau aku bunuh.”

§ Haram menghimpun dua orang wanita yang bersaudara, baik karena adanya hubungan darah ataupun hubungan persusuan; baik dari kedua orang tua yang sama ataupun hanya karena satu bapak atau karena satu ibu; baik sebelum digauli ataupun sesudah digauli. Jika ia telah terlanjur mengawininya dengan akad yang sama, maka akadnya dipandang rusak (fasad).

§ Haram menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari pihak bapak atau bibinya dari pihak ibu. Dalam hal ini, Abû Hurayrah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda sebagai berikut:

Seorang pria tidak boleh menghimpun (untuk dikawini, pen) seorang wanita dengan bibinya dari pihak bapaknya ataupun dengan bibinya dari pihak ibunya.

Dalam riwayat Abû Dâwud, redaksinya berbunyi demikian:

Seorang wanita tidak dinikahi bersama dengan bibinya dari pihak bapak; tidak juga bibinya itu dinikahi bersama dengan keponakan perempuan anak saudara laki-lakinya. Seorang wanita tidak dinikahi bersama dengan bibinya dari pihak ibu; tidak juga bibinya itu dinikahi bersama dengan keponakan perempuan anak saudara wanitanya.

§ Haram mengawini wanita-wanita yang telah bersuami. Allah Swt. menyebut mereka dengan istilah muhshanât (yang terpelihara kehormatannya), karena mereka telah menjaga kehormatannya melalui pernikahan.

§ Haram menikahi wanita-wanita karena adanya hubungan persusuan sebagaimana haramnya mengawini wanita-wanita karena adanya hubungan darah. Setiap wanita yang haram dinikahi karena adanya hubungan darah, maka haram pula dinikahi karena adanya hubungan persusuan. Mereka adalah ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi (baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu), keponakan perempuan anak saudara laki-laki, dan keponakan perempuan anak saudara perempuan. Semua itu dijelaskan secara gamblang dalam kaitannya dengan adanya hubungan darah. Nabi saw. bersabda:

Keharaman (wanita-wanita untuk dinikahi) karena faktor hubungan persusuan adalah sama dengan keharaman karena faktor hubungan darah.

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda demikian:

Persusuan mengharamkan apa yang diharamkan karena faktor kelahiran.

Sementara itu, ‘Aisyah r.a. bertutur sebagai berikut:

Sungguh beruntung saudara Abû al-Qâ‘îs yang telah meminta izin kepadaku setelah turunnya ayat mengenai hijab. Aku berkata kepadanya, “Demi Allah, tidak ada izin baginya hingga aku meminta izin kepada Raulullah saw., karena sesungguhnya saudara Abû Qâ‘îs bukanlah saudara sepersusuanku. Istrinyalah yang telah menyusuiku.” Rasulullah saw. kemudian masuk ke kamarku. Aku lalu berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya pria itu bukan saudara sepersusuanku. Istrinyalah yang telah menyusuiku.” Mendengar itu beliau berkata, “Izinkanlah dia karena dia adalah pamanmu. Semoga engkau memperoleh kebahagiaan.”

Faktor yang mengharamkan dalam persusuan adalah air susu itu sendiri. Pemilik air susu (shâhib al-laban) yang telah menyusui seseorang, menjadi haram bagi orang yang disusuinya, begitu pula orang-orang yang telah menyusu kepadanya. Keharaman ini berlaku baik pemilik air susu itu pria atau wanita, baik orang yang menyusu itu anaknya sendiri ataupun bukan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa, seseorang boleh mengawini wanita yang menjadi saudara dari saudara sepersusuannya, tetapi ia tidak boleh mengawini saudara sepersusuannya, baik pria ataupun wanita. Jika seseorang telah disusui oleh seorang wanita, maka wanita itu telah menjadi ibunya karena faktor persusuan, dan suami wanita itu telah menjadi bapaknya, juga karena faktor persusuan. Anak-anaknya pun merupakan saudara-saudara sepersusuan baginya. Akan tetapi, saudara perempuan dari orang yang telah disusui tadi bukan merupakan saudara bagi saudara-saudaranya yang sepersusuan. Dengan demikian, bagi mereka (saudara sepersusuannya) boleh mengawini saudara perempuannya, karena faktor yang mengharamkannya adalah air susu, bukan yang lain.

Itulah wanita-wanita yang haram dinikahi. Wanita-wanita selain mereka tidak haram untuk dinikahi, sebagaimana firman Allah Swt.:

Dihalalkan bagi kalian selain dari mereka. (QS an-Nisâ’ [4]: 24)

Dalam konteks ini, dikecualikan wanita-wanita yang telah dijelaskan keharamannya, yaitu wanita dari golongan musyrik dan wanita yang telah bersuami.

Sholat Rawatib

Shalat Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu), terdiri dari:

a. 2 raka’at sebelum shubuh

b. 4 raka’at sebelum Dzuhur (atau Jum’at)

c. 4 raka’at sesudah Dzuhur (atau Jum’at)

d. 4 raka’at sebelum Ashar

e. 2 raka’at sebelum Maghrib

f. 2 raka’at sesudah Maghrib

g. 2 raka’at sebelum Isya’

h. 2 raka’at sesudah Isya’

Fungsi Adzan

Ada beberapa kelompok manusia yang mengatakan bahwa seruan adzan itu hanya khusus untuk memanggil sholat saja, tidak boleh untuk yang lain. Sementara sebahagian kaum muslimin yang lain berpendapat bahwa adzan dapat juga dilakukan pada beberapa hal yang selain panggilan untuk menunaikan sholat fardhu yang lima waktu.

Masalah ini memunculkan kebimbangan dan perdebatan di tengah-tengah umat Islam belakangan ini. Apalagi dengan banyaknya beredar buku-buku dan siaran-siaran da’wah melalui media elektronik yang terkadang agak keras menyerang kaum muslimin yang berbeda faham dari mereka, dengan berbagai cercaan; mulai dari tuduhan pemakaian hadits yang statusnya dhoif, tuduhan sebagai amalan sesat dan bid’ah, bahkan sampai dengan ancaman neraka segala. Dengan demikian maka keresahan umat menjadi semakin meluas dan tajam.

Benarkah seruan adzan itu hanya untuk memanggil kaum muslimin melaksanakan sholat? Adakah manfaat yang lain di luar itu? Sebagai jawaban atas masalah yang sering ditanyakan kepada kami maka berikut ini adalah kumpulan beberapa dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, hadis Nabi, dan Fatwa Ulama tentang kegunaan adzan dalam Islam.

Pengertian Adzan

Berkata Azhari, seorang ahli bahasa Arab, tentang asal kata adzan : adzdzana al muadzdzinu ta’dziinan wa adzaanan yaitu memberitahu manusia akan masuknya waktu sholat. Maka adzan itu diletakkan dalam bentuk isim tetapi berfungsi sebagai mashdar, yang dalam bahasa bahasa Indonesia bermakna panggilan di waktu sholat. (Lihat Majmu’ Syarah Muhadzdzab Imam Nawawi Jilid 4, halaman 121 cetakan Abbaz bin Ahmad al Baz – Makkah Al Mukarromah).

Kegunaan Adzan

1. Memanggil Sholat

Adzan diperintahkan untuk memanggil umat Islam sebagai tanda masuknya waktu sholat. Hal ini sudah masyhur (terkenal) di kalangan umat Islam dan tidak ada khilaf, perbedaan pendapat antara kaum muslimin tentang hal ini. Semuanya sepakat dalam hal bahwa adzan digunakan untuk panggilan sholat.

Dalil-dalil Qur’an tentang ini adalah;

  • Surat al Jumu’ah ayat 9: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
  • Surat al-Maidah ayat 58 : “dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”

Adapun dalil-dalil hadis tentang hal ini adalah;

  • Dari Abdullah bin Zaid bin Abduh Rabihi radhiyallahu ‘anhu berkata dia, “Manakala Rasulullah telah memerintahkan untuk memakai lonceng yang dibunyikan bagi memanggil manusia untuk berkumpul melaksanakan sholat berjamaah, telah berkeliling kepadaku seorang lelaki yang sedang memegang sebuah lonceng ditangannya, pada saat itu aku sedang tidur (bermimpi). Aku berkata, “Wahai hamba Allah apakah engkau menjual lonceng?” orang itu berkata,” Untuk apa lonceng bagimu?” Aku berkata, “Kami mau memanggil manusia untuk melakukan sholat dengan lonceng itu.” Kemudian orang yang dalam mimpi itu berkata, “ Maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada memukul lonceng?” lalu aku menjawab, “iya.” Maka orang itu berkata lagi ucapkan olehmu, “Allahu Akbar 4x ..(dan seterusnya sampai selesai kalimat adzan lengkap – pen). Kemudian orang itu mundur tidak jauh daripadaku dan dia berkata, “Jika engkau telah selesai sholat (sunat) maka ucapkanlah Allahu Akbar 2x ….. (bacaan iqomat sampai selesai – pen). Setelah aku terbangun di subuh hari, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan tentang mimpiku. Maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya mimpimu adalah mimpi yang benar, Insya Allah.” Maka berdirilah bersama Bilal dan ajarkanlah kepada Bilal tentang mimpimu itu agar Bilal beradzan seperti itu, karena suara Bilal lebih baik dari suaramu. Maka aku berdiri bersama Bilal dan mengajarkan seruan adzan itu secara perlahan sementara Bilal menyerukan suara adzan itu dengan keras. Maka telah mendengar Umar bin Khatab di rumahnya akan seruan adzan Bilal tersebut, kemudian beliau segera keluar dari rumahnya sambil menyandang selendangnya. Umar berkata, ”Demi Allah yang telah mengutus Engkau ya Rasul dengan haq, sungguh aku telah melihat dalam mimpiku serupa dengan yang dialami Abdullah bin Zaid itu. Maka Rasulullah menjawab, ”Bagi Allah sajalah segala puji .”(HR. Tarmidzi dan Abu Dawud, sanad yang shohih).

2. Adzan dan Iqomat Pada Anak yang Baru Lahir

Disunnatkan juga mengadzankan anak yang baru lahir pada telinga kanannya dan mengiqomatkan anak tersebut pada telinga kirinya, seperti adzan dan iqomat pada sholat 5 waktu. Tidak berbeda perlakuan adzan dan iqomat ini kepada anak laki-laki ataupun anak perempuan. Hal ini disandarkan pada beberapa hadis antara lain;

  • Dari Abi Rofi’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah mengadzankan Sayyidina Husain di telinganya pada saat Sayyidina Husain baru dilahirkan oleh Sayyidatuna Fatimah dengan bacaan adzan untuk sholat .” (HR. Ahmad, Abu dawud, Tarmidzi, dishohihkannya).
  • Dari Abi Rofi’ berkata dia, “Aku pernah melihat Nabi melakukan adzan pada telinga Al Hasan dan Al Husain radhiyallahu ‘anhuma.” (HR. Thabrani).
  • “Barangsiapa yang kelahiran seorang anak, lalu anaknya diadzankan pada telinganya yang sebelah kanan serta di iqomatkan pada telinga yang kiri, niscaya tidaklah anak tersebut diganggu oleh Ummu Shibyan (HR. Ibnu Sunni, Imam Haitsami menuliskan riwayat ini pada Majmu’ Az Zawaid, jilid 4,halaman 59). Menurut pensyarah hadis, Ummu Shibyan adalah jin wanita yang selalu mengganggu dan mengikuti anak-anak bayi. Di Indonesia terkenal dengan sebutan kuntilanak atau kolong wewe.
  • Di dalam kitab Majmu Syarah Muhaddzab, Imam Nawawi meriwayatkan sebuah riwayat yang dikutip dari para ulama Syafi’i, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu pernah melakukan adzan dan iqomat pada anaknya yang baru lahir.

Dari keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa perkataan orang yang selama ini mengatakan amalan mengadzankan anak yang baru lahir hanya disandarkan pada hadits-hadits dhoif belaka, adalah tidak benar sama sekali!

3. Adzan Pada Keadaan-keadaan yang lain

Selain dua hal tersebut di atas, para ulama Madzhab Syafi’i mengumpulkan dalil-dalil akan adanya manfaat adzan yang lain. Salah satunya saya kutipkan dari kitab Fathul Mu’in karangan Syaikh Zainuddin al Malibari, juga telah disyarahkan keterangannya dalam I’anatut Thalibin oleh Syaikh Sayyid Abi Bakri Syatho’, jilid 2 halaman 268, cetakan Darul Fikri.

Dalam kitab Fathul Mu’in itu disebutkan, ”Dan telah disunnatkan juga adzan untuk selain keperluan memanggil sholat, beradzan pada telinga orang yang sedang berduka cita, orang yang ayan (sakit sawan), orang yang sedang marah, orang yang jahat akhlaknya, dan binatang yang liar atau buas, saat ketika terjadi kebakaran, saat ketika jin-jin memperlihatkan rupanya yakni bergolaknya kejahatan jin, dan adzan serta iqomat pada telinga anak yang baru lahir, dan saat orang musafir memulai perjalanan.”

Keterangan;

Sudah umum diketahui bahwa orang yang sedang marah, berakhlak buruk, binatang liar umumnya terpengaruh oleh gangguan syaitan atau jin, maka adzan pada hal-hal demikian itu, menyebabkan syaitan /jin yang mengganggu akan lari sampai terkentut-kentut bila mendengar adzan (H.R. Bukhari Muslim).

Seperti yang dikatakan Shahabat Umar ra. :

Atsar dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah rahimahullahu dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari (6/414): “Sesungguhnya Ghilan disebut di sisi ‘Umar, maka ia berkata: “Sungguh seseorang tidak mampu untuk berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka (para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.

Ghilan atau Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan musafir yang sedang berjalan di gurun (hutan/jalan). Mereka menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang mengejutkan dan menakutkan sehingga membuat takut musafir tersebut. (Tambahan dari Redaksi)

Adapun mengadzankan mayat ketika dimasukkan ke dalam kubur adalah masalah khilafiyah; Sebagian ulama mengatakan sunnat dan sebagian lagi mengatakan tidak sunnat. Di antara ulama kita yang berpendapat tidak sunnat mengadzankan mayat adalah Syaikh Ibnu Hajar al Haitami rahimahullahu ta’ala, namun demikian, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan bid’ah sesuatu perkara yang statusnya khilafiyah.

Wallahu a’lam bisshowab

Refleksi Waktu

Apa yang telah hilang - kendati sangat banyak - tidak bisa dibandingkan dengan apa yang masih ada, kendati mencarinya adalahsesuatu yang mulia.

Bersabar terhadap kelelahan sebentar yang menghasilkan istirahat lama itu lebih baik daripada penyegeraan istirahat sebentar yang menghasilkan kelelahan abadi.

Sesungguhnya dunia ini jika engkau mememikirkannya, tidak lebih dari

tiga hari;

1. Hari kemarin yang tidak bisa engkau harapkan lagi.

2. Hari yang engkau berada di dalamnya yang harus engkau manfaatkan

sebaik mungkin, dan

3. Hari esok yang engkau tidak tahu apakah engkau berada di hari tersebut atau tidak / engkau tidak tahu siapa tahu engkau meninggal dunia esok pagi !

Adapun hari kemarin, ia ibarat orang bijak yang pandai mendidik.

Adapun hari ini, ia ibarat teman yang akan mengucapkan selamat berpisah.

Namun, kendati kemarin telah membuatmu sakit, engkau telah menggenggam hikmah. Jika engkau telah menyia-nyiakannya, engkau mendapatkan ganti. Tadinya kemarin tersebut tidak ada pada dirimu,namun sekarang ia cepat pergi darimu.


Adapun hari esok, engkau masih mempunyai secercah harapan. Oleh karena itu, berbuatlah, dan jangan tertipu oleh mimpi - mimpi sebelum ajal tiba.

Engkau jangan memasukkan kesedihan esok dan esok lusa kedalam hari ini, karena hal itu hanya akan menambah kesedihanmu dan kelelahanmu . Seandainya harapan esok pagi keluar dari hatimu, engkau telah berbuat dengan baik pada hari ini, dan telah mengurangi kesedihanmu pada hari ini. Namun harapanmu terhadap esok pagi itu membuatmu bersikap tidak serius dan membuatmu menjadi orang yang banyak menuntut.

Doa untuk barang yang Hilang

Doa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang kehilangan sesuatu darinya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Abi Syaibah di dalam Mushannif nya dan Ath-Thabrani dari hadits Ibnu Umar yang maknanya adalah barangsiapa yang kehilaangan sesuatu maka hendaklah dirinya berwudhu, shalat dua rakaat, tasyahhud lalu mengucapkan :

بِسمِ اللهِ يَا هَادِي الضَّلاَل وَرَادَّ الضَّالَّةِ اردُد عَلَيَّ ضَالَتِي بِعِزَّتِكَ وَسُلطَانِكَ فَإِنَّهَا مِن عَطَائِكَ وَفَضلِكَ"

Bismillah Yaa Hadii adh Dhalal wa Roodda adh Dhaalah Urdud ‘alayya Dhalatiy bi ‘Izzatika wa Sulthanika Fa Innaha min Athaaika wa Fadhlika


(Dengan nama Allah, Wahai Yang Menunjuki yang tersesat dan Yang Mengembalikan yang hilang (maka) kembalikanlah kepadaku (sesuatu) yang hilang (dari) ku dengan keagungan-Mu dan kekuasaan-Mu. Sesungguhnya ia (sesuatu) itu adalah pemberian-Mu dan karunia-Mu).”

Al Hakim mengatakan bahwa para perawinya adalah orang-orang yang bisa dipercaya (mautsuq) dari orang-orang Madinah dan tak satu pun dari mereka cacat. (Markaz al Fatwa No. 6815)

Bersentuhan dengan Istri

Persentuhan kulit laki-laki dewasa dengan wanita dewasa yang bukan mahram (termauk juga istri) tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu. Dalam kitab al-Iqna pada Hamisyi albujairimi juz I, halaman 171 sebagai berikut:

..والرابع من نواقض الوضوء لمــــس الرجل ببشرته المرأة الأجنبية أى بشرتها من غير حائل.

…hal keempat membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa lain (yang bukan muhrim) tanpa ada penghalang.

Begitu juga yang dijelaskan dalam hadits dari Muadz bin Djabal.

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاه رجل فقال: يارسول الله ما تقول فى رجل لقي امرأة لايعرفها وليس يأتى الرجل من امرأته شيئا إلاأتاه منها غير أنه لم يجامعها قال فأنزل الله عز وجل هذه الأية أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل, قال فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : توضاء ثم صل..! قال معاذ فقلت يارسول الله أله خاصة أم للمؤمنين عامة؟ فقال:بل للمؤمنين عامة (رواه أحمد والدارقطنى

Rasulullah saw. kedatangan seorang lelaki lalu berkata: ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang tak dikenalnya. Dan mereka bertemu tidak seperti layaknya suimi-istri, tidak juga bersetubuh. Namun, hanya itu saja (bersetubuh) yang tidak dilakukannya.

Kata Rawi Maka turunlah ayat أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل .

Rawi bercerita: Maka rasulullah saw bersabda: berwudhulah kamu kemudian sembahyanglah. Muadz berkata ”wahai Rasulullah apakah perintah ini hanya untuk orang ini, atau umum untuk semua orang mu’min? Rasulullah saw menjawab “untuk semua orang mu’min’ (HR. Ahmad Addaruquthni)

Ada juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya:

قبلة الرجل امرأته وجسه بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أوجسها بيده فعليه الوضوء (رواه مالك فى الموطأ والشافعى )

Sentuhan tangan seorang laki-laki terhadap istrinya dan kecupannya termasuk pada bersentuhan (mulamasah). Maka barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan, wajiblah atasnya berwudhu (HR. Malik dalam Muwattha’ dan as-Syafi’i)

Hadits ini jelas menerangkan bahwa bersentuhan dengan istri itu membatalkan wudhu seperti halnya batalnya wudhu karena mencium istri sendiri.

Seperti yang ditekankan dalam salah satu riwayat Ibnu Haitam, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:

اللمس ما دون الجماع


Yang dimaksud dengan sentuh (allamsu) adalah selain jima’.

Ini berarti bersentuhan dengan istri tanpa penghalang baik sengaja atapun tidak membatalkan wudhu. Lebih jelas lagi riwayat atThabrani:

يتوضأ الرجل من المباشرة ومن اللمس بيده ومن القبلة

Berwudhulah lelaki karena berlekatan, bersentuhan dengan tangan dan karena ciuman.

Wudhu

Pengertian dan dalil disyariatkannya

Wudhu secara bahasa: dari asal kata “al wadaa’ah”, yaitu kebersihan dan kesegaran.

Secara istilah: Memakai air untuk anggota tertentu (wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki) menghilangkan apa yang menghalangi untuk sholat dan selainnya.

Dalil dari Qur’an dan Sunnah:

  1. Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6 : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”
  2. Shahih Bukhari : 135 dan Shahih Muslim : 225 : “Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadas sehingga dia berwudhu”.

Keutamaan Wudhu:
  1. Bersuci adalah setengah dari iman. (Shahih Muslim : 223)
  2. Menghapus dosa-dosa kecil. (Shahih Muslim : 244)
  3. Mengangkat derjad seorang hamba. (Shahih Muslim : 251)
  4. Jalan ke sorga. (Shahih Bukhari : 1149 dan Sahih Muslim : 2458)
  5. Tanda keistimewaan ummat ini ketika mereka mendatangi telaga. (Shahih Muslim : 234)
  6. Cahaya bagi seorang hamba di hari kiamat. (Shahih Muslim : 250)
  7. Untuk pembuka ikatan syetan. (Shahih Bukhari : 1142 dan Shahih Muslim : 776)
Sifat wudhu yang lengkap atau sempurna :

“Humran budak Utsman, telah menceritakan kepadanya, bahwa Utsman bin Affan meminta air untuk berwudlu, kemudian dia membasuh dua tangan sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur serta memasuk dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian ia membasuh muka sebanyak tiga kali dan membasuh tangan kanannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh tangan kirinya sama seperti beliau membasuh tangan kanan, kemudian mengusap kepalanya dan membasuh kaki kanan hingga ke mata kaki sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh kaki kiri, sama seperti membasuh kaki kanannya. Kemudian Utsman berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu seperti cara aku berwudlu.’ Kemudian dia berkata lagi, ‘Aku juga telah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengambil wudlu seperti cara aku berwudlu kemudian dia menunaikan shalat dua rakaat dan tidak berkata-kata antara wudlu dan shalat, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu’.” Ibnu Syihab berkata, “Ulama-ulama kami berkata, ‘Wudlu ini adalah wudlu yang paling sempurnya yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan shalat.” (Shahih Bukhari 158 dan Shahih Muslim 226)

Sifat-sifat wudhu':

  1. Berniat (karena merupakan syarat sah ibadah termasuk wudhu’) menghilangkan hadas (dalam hati).

إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى

“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. (Riwayat Bukhari : 1 dan Shahih Muslim : 1907)

2. Membaca Bismillah.

3. Mencuci telapak tangan sampai pergelangan 3 kali.

4. Mengambil air dengan tangan kanan untuk berkumur-kumur sambil menghirup air dengan hidung lalu mengeluarkannya kembali dengan tangan kiri 3 kali.

5. Mencuci wajah seluruhnya 3 kali.

6. Mencuci kedua tangan sampai siku (kanan-kiri).

7. Menyapu keseluruhan kepala kebelakang lalu ke depan terus ke telinga bagian luar dan dalam.

8. Mencuci kedua kaki sampai mata kaki serta sela-sela jari kaki (kanan-kiri).

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: Niat tempatnya di hati bukan di lidah, telah disepakati oleh para ulama. (Majmu’ arrosail al kubro : 1/243)

Faidahnya: Jikalau dia melafazkan berbeda dengan yang dihatinya maka yang dinilai adalah yang di hatinya.


Rukun-rukun Wudhu’

Apabila satu diantara rukun ini tinggal, maka batallah wudhu’nya. Diantara rukun-rukun tersebut adalah:

  1. Mencuci seluruh wajah dari tempat tumbuhnya rambut sampai dibawah dagu dan dari telinga kanan sampai telinga kiri. Dan wajib berkumur-kumur dan mencuci hidung. (al-Maidah ayat 6)
  2. Membasuh kedua tangan sampai siku. (al-Maidah ayat 6)
  3. Menyapu kepala kewajibannya disepakati oleh ulama, namun berbeda pada ukurannya. (al-Maidah ayat 6)
  • Wajib menyapu semua kepala baik laki-laki maupun perempuan.
  • Wajib menyapu semua kepala hanya untuk laki-laki.
  • Menyapu hanya sebagian kepala.
  1. Menyapu telinga. (daaruqutni : 1/97, hasan)
  2. Mencuci kedua kaki sampai mata kaki serta sela-sela jari kaki. (Shahih Bukhari : 161 dan Shahih Muslim : 241)
  3. Teratur. (Majmu’ : 1/433, dll)
  4. Beriringan atau tidak terpisah antara satu rukun dengan rukun lainnya. (Shahih Muslim : 232)


Sunnah-sunnah Wudhu’ :

  1. Bersiwak.
  2. Memulai dengan Bismillah.
  3. Membasuh kedua tangan. (Shahih Bukhari : 159 dan Shahih Muslim : 226)
  4. Berkumur-kumur dan mencuci hidung dari satu cidukan air sebanyak 3 kali. (Shahih Muslim : 235)
  5. Melebihkan berkumur-kumur dan mencuci hidung selain orang yang berpuasa. (Abu Daud : 142, shahih)
  6. Mendahulukan yang kanan dari pada yang kiri. (Shahih Bukhari : 140)
  7. Mencuci sebanyak 3 kali. (Shahih Bukhari : 156)

Perhatian:

  • Menyapu kepala hanya sekali saja. (an-Nasa’i : 1/88, shahih)
  • Makruh lebih dari 3 kali bagi orang yang menyempurnakan wudhunya. (at-Tamhiid, ibnu abdilbaar : 20/117)
  1. Menggosok-gosok anggota wudhu. (Ibnu Hiban : 1082, shahih)
  2. Membersihkan sela-sela jari tangan dan kaki. (Shahih)
  3. Melebihkan membasuh pada tempat yang diwajibkan seperti kedepan kepala, atas siku dan atas mata kaki. (Shahih Bukhari : 36 dan Shahih Muslim : 246)
  4. Hemat dalam penggunaan air. (Shahih Bukhari : 198)
  5. Berdoa setelah wudhu. (Shahih Muslim : 234)
  6. Sholat 2 rakaat setelah wudhu. (Shahih Bukhari : 6433 dan Shahih Muslim : 226)

Catatan:

- Boleh mengeringkan bekas wudhu. (Shahih Bukhari : 270)

- Tidak sah wudhu bagi wanita yang memakai kutek. (Ibnu Abi Syaibah : 1/120, sanad shahih)



Pembatal wudhu’ :

  1. Buang air kecil atau buang air besar serta keluar angin dari 2 tempat. (al-Maidah ayat 6, al ijmaa’ hal. 17)
  2. Keluar mani, wadi atau madzi. (Shahih Bukhari : 269 dan Shahih Muslim : 303)
  3. Tidur lelap. (al-muhalla : 1/222-231). Ada 8 pendapat ulama, silahkan lihat di hal. 129-132)
  4. Hilang akal atau gila, mabuk, pingsan. (al-Ausath ibnu al Mundzir : 1/155)
  5. Menyentuh kemaluan tanpa pembatas, baik dengan syahwat atau tidak.
  6. Memakan daging onta. (Shahih Muslim : 360)

Hal-hal yang tidak membatalkan wudhu’ :

  1. Saling bersentuhan laki-laki dengan wanita tanpa pembatas. (al-Umm : 1/15)
  2. Keluar darah dari selain tempat yang biasa keluar seperti karena luka atau bekam. (Shahih Bukhari : 1/80)
  3. Koi atau pengobatan dengan menggunakan besi panas. (Tirmidzi : 87, shahih)
  4. Tertawa terbahak-bahak dalam sholat atau diluar sholat. (dalil yang mengatakan mengulang wudhu adalah dhaif, daaruqutni : 1/162)
  5. Memandikan dan membawa mayat. (Abu Daud : 3162, dll)
  6. Ragu dengan telah batalnya wudhu atau belum. (Shahih)

Hal-hal yang dianjurkan untuk berwudhu’ :

  1. Ketika berdzikir: keumuman berdzikir, membaca al-Qur’an, tawaf di ka’bah dan lain-lain. (Abu Daud : 17, shahih)
  2. Ketika akan tidur. (Shahih Bukhari : 247 dan Shahih Muslim : 2710)
  3. Bagi orang yang junub ketika akan makan, tidur atau ingin mengulanginya kembali. (Shahih Bukhari : 288 dan Shahih Muslim : 305)
  4. Sebelum mandi junub. (Shahih Bukhari : 248 dan Shahih Muslim : 316)
  5. Setelah makan makanan yang di bakar atau di panggang. (Shahih Muslim : 351)
  6. Memperbaharui wudhu ketika akan sholat. (Shahih Muslim : 277)
  7. Ketika terjadi hal yang membatalkan wudhu. (Tirmidzi : 3689, shahih)
  8. Setelah berobat dengan besi panas. (Tirmidzi : 87, shahih)

Menyapu pembatas :

  1. Menyapu Khuffain (sandal dari kulit yang menutup dua mata kaki) hukumnya boleh tapi mencucinya lebih utama. Masanya 3 hari 3 malam untuk yang musafir dan sehari semalam bagi yang bermukim.

Syarat menyapu khuffain yaitu memakainya dalam keadaan suci.

Yang membatalkannya yaitu berakhirnya masa menyapu, membukanya dan berhadats sebelum memakainya. Sedangkan membukanya bukan berarti membatalkan wudhu.

Menyapu kaus kaki dan sandal ada 3 pendapat.

  1. Menyapu penutup kepala seperti imamah atau sorban dan kerudung bagi wanita ketika berwudhu apabila takut dingin.
  2. Pembungkus tulang yang patah seperti gips.

Shollu 'Alan Nabiyy

Secara harfiyah, ucapan “Allahumma Shalli wa Sallim ‘ala Saydina Muhammad” adalah kalimat doa yang memiliki ma’na; Ya Allah, berilah shalawat dan keselamatan kepada Nabi Muhammad.

Bila ditilik secara rasio yang terbatas, kita bisa saja mengatakan, untuk apa kita harus bershalawat kepada Rasulullah dan mendoakan keselamatan untuk beliau? Bukankah beliau adalah semulia-mulianya mahluk pilihan dan telah beroleh jaminan keselamatan dari Allah?

Dalam kitab Tuhfatul Mariid ‘ala Jauharatit Tauhid, Imam Al-Baijuri (Burhanuddin Ibrahim Al-Baijuri) membahas dengan jelas mengenai permasalahan ini. Dalam ulasan beliau tentang masalah ini, beliau menukilkan dua pendapat para ulama seputar permasalahan, apakah shalawat itu memberi arti dan manfaat bagi Nabi?

Pendapat pertama mengatakan, doa apapun akan memberi manfaat bagi Nabi. Alasan bahwa segala kesempurnaan dan kemapanan telah dimiliki Nabi, terbantahkan dengan dalih, bahwa tidak ada kesempurnaan mutlak selain milik Allah yang Maha sempurna.

Sehingga sekalipun secara dhahir pengetahuan kita bahwa Rasulullah adalah sesempurna-sempurnanya mahluk pilihan Allah, namun bukan alasan untuk tak perlu lagi berbanyak-banyak mengucapkan shalawat bagi kepada beliau. Sebab shalawat yang kita senantiasa kirimkan sebagai wujud pemuliaan serta pengagungan kita kepada Rasulullah, dan manfaatnya akan menambah derajat kemuliaan Rasulullah di sisi Allah SWT.

Pendapat kedua mengatakan, bahwa manfaat dan faidah shalawat semata akan kembali kepada kita, sang pengucap shalawat. Paling tidak, ada beberapa dalil yang menguatkan hal ini;

Pertama, Rasulullah telah mencapai derajat kesempurnaan kemuliaan, kebaikan, dan keselamatan. Ketika kita mendoakan kebaikan untuk beliau, seolah-olah tak ada tempat lagi bagi Rasulullah untuk menempatkan manfaat dari doa kita. Ibarat sebuah wadah yang sudah penuh air, ketika kita tambahkan lagi air ke dalamnya, yang akan terjadi adalah air itu akan meluap.

Posisi Rasulullah dibanding kita manusia biasa, ibarat sebuah wadah sangat besar, terisi penuh oleh air yang sangat bersih, yang terletak di tempat yang sangat tinggi. Sementara kita, ibarat wadah-wadah kecil yang terisi oleh air yang keruh. Ketika kita bershalawat kepada Rasulullah, seolah-olah kita mengisikan air keruh di wadah kita ke dalam wadah Rasulullah.

Hasilnya, karena wadah Rasulullah sudah penuh, tak ada tempat lagi untuk menampung air yang kita tambahkan sehingga meluaplah dan kembali kepada kita.

Keistimewaannya, air sedikit milik kita yang tadinya keruh, ketika bercampur dan berbaur dengan air jernih milik Rasulullah, ketika meluap dan kembali kepada kita, telah berubah menjadi lebih jernih dari sebelumnya. Seakan-akan, terjadi proses sterilisasi dan penjernihan di sana. Kesimpulannya, semakin banyak kita mengisikan air milik kita ke wadah Rasulullah, akan semakin jernih pula air tersebut meluap kembali kepada kita.

Maka shalawat pun demikian adanya. Semakin banyak kita memohonkan shalawat dan keselamatan kepada Rasulullah, semakin banyak pula faidah keselamatan yang akan kita dapatkan.

Dalil kedua tentang kembalinya faidah shalawat kepada sang pengucap shalawat. Dikuatkan oleh hadits Rasulullah, Barang siapa yang mendoakan kebaikan kepada orang lain, maka malaikat akan berucap: “Dan bagimu juga sebagaimana yang engkau doakan untuk saudaramu.”

Sehingga, semakin banyak kita bershalawat kepada Rasulullah dan memohon keselamatan untuk beliau, semakin banyak pula malaikat mendoakan untuk kita sebagaimana yang kita mohonkan kepada Allah untuk Rasulullah.

Dan bila ditambah dengan menyimak kembali hadits-hadits tentang fadhilah dan keutamaan shalawat kepada Rasulullah, insya Allah kita akan terpacu untuk semakin rajin mengirimkan shalawat dan salam kepada Rasulullah, Sang Junjungan Muhammad SAW. Sebab, semua bentuk faidah dan manfaat Shalawat itu akan kembali kepada kita. Mungkin kita tak bisa langsung merasakannya di dunia. Namun janji Allah tentang balasan di akhirat, itu pasti adanya.

Alfu Shalatin wa Alfu Salamin alaika ya Rasuulallah…

Hukum Sholat Berjam'ah

Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait. Semua ini karena kedudukannya memiliki arti penting dalam Islam. Sementara itu, banyak kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini. Banyak dijumpai dalam shalat berjama’ah, mereka kurang memperhatikan adab dan hukum yang terkait. Menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kesalahan dan dosa, bahkan kebid’ahan.

BATASAN MINIMAL PESERTA SHALAT BERJAMA’AH

Batasan minimal untuk shalat jama’ah ialah dua orang. Seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama.

Ibnu Qudamah menyatakan,“Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini.”[1]

Demikian juga Ibnu Hubairoh menyatakan,“Para ulama bersepakat, batasan minimal shalat jama’ah ialah dua orang. Yaitu imam dan seorang makmum yang berdiri di sebelah kanannya.” [2]


Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu :

Shalat jama’ah dianggap sah, walaupun makmumnya seorang anak kecil atau wanita. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi: " Aku tidur di rumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku ke samping kanannya"



أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا


Sesungguhnya Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami dia dan ibunya. Anas berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan wanita (ibunya) di belakang kami.” [4]

Semakin banyak jumlah makmum, maka semakin besar pahalanya dan semakin disukai Allah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Shalat bersama orang lain lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat bersama dua orang lebih baik daripada shalat bersama seorang. Semakin banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Azza wa Jalla. [5]

Hadits ini jelas menunjukkan, bahwa semakin banyak jumlah jama’ahnya semakin lebih utama dan lebih disukai Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz, boleh menjadi imam menurut pendapat yang rajih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika pulang beliau berkata,“Demi Allah, aku membawakan kepada kalian kebenaran dari sisi Rasulullah,” lalu berkata,“Shalatlah kalian, shalat ini pada waktu ini dan shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan Qur’annya yang menjadi imam.” Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun.[6]



KAPAN DIKATAKAN MENDAPATI SHALAT BERJAMA’AH?

Gambaran permasalahan ini ialah seseorang datang ke masjid untuk shalat berjama’ah. Kemudian mendapati imam bertasyahud akhir, lalu bertakbiratul ihram. Apakah masbuq tersebut dikatakan mendapatkan pahala berjama’ah bersama imam, ataukah dianggap sebagai shalat sendirian (munfarid)?

Dalam permasalahan ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat yang berbeda.

Pertama : Shalat Jama’ah Didapatkan Dengan Takbir Sebelum Imam Salam.

Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Jika shalat telah iqamat, maka janganlah mendatanginya dengan berlari. Datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah.[7]

Dalam hadits ini dinyatakan, orang yang mendapatkan imam dalam keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan shalat jama’ah, lalu menyempurnakan yang terlewatkan. Sehingga orang yang bertakbir ihram sebelum imam salam, dikatakan mendapatkan shalat jama’ah.

Kedua : Membedakan Antara Jum’at Dan jama’ah. Jika Shalat Jum’at, Melihat Kepada Raka’at Dan Jama’ah Melihat Kepada Takbir.

Bermakna, dalam shalat Jum’at, seseorang dikatakan mendapatkan shalat Jum’at bersama imam, bila mendapatkan satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah, bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i.[8]


Ketiga : Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjama’ah, Bila Mendapatkan Satu Raka’at Bersama Imam.

Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazali dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Nashir Assa’di telah merajihkannya.[9]

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat, maka telah mendapatkan shalat.[10]

Dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Rasulullah bersabda,“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum’at atau selainnya, maka telah mendapatkan shalat.” [11]

Sedangkan raka’at dilihat dari ruku’nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :

إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud, maka bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barangsiapa yang mendapatkan raka’at, maka telah mendapatkan shalat.[12]

Mereka menyatakan, “Orang yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at atau selainnya, maka (dianggap) mendapatkan shalat. Demikian juga shalat jama’ah, tidak dianggap mendapatkannya, kecuali dengan mendapat satu raka’at.” [13]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam dalam pernyataan beliau: Yang benar ialah pendapat ini, karena hal berikut:

1. Menurut syari’at, -dalam hal ini- takbir tidaklah berkaitan dengan hukum apapun. Tidak berkaitan dengan waktu dan tidak pula dengan Jum’at atau jama’ah atau yang lainnya. Takbir disini, adalah sifat yang tidak terkait dengan hukum apapun (washfun mulgha) dalam tinjauan syari’at. Maka dari itu, tidak boleh menggunakannya sebagai hujjah.

2. Syari’at hanya mengaitkan status mengenai bisa-tidaknya shalat berjama’ah dengan mendapati raka’at. Kaitannya dengan takbir akan meniadakannya … …

3. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan tentang dapatnya shalat berjama’ah bersama imam dengan raka’at. Ini adalah nash permasalahan.

4. Jum’at tidak bisa didapatkan oleh seseorang, kecuali bila mendapatkan raka’at. Demikianlah fatwa sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya: Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Anas dan yang lainnya. dalam hal ini, tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka. Bahkan sebagian ulama menyatakan, hal ini merupakan ijma’ sahabat. Pemisahan hukum Jum’at dengan jama’ah disini tidak benar. Oleh karena itu, Abu Hanifah meninggalkan ushul-nya dan membedakan keduanya. Tapi hadits dan atsar sahabat membatalkan pendapat beliau.

5. Bila tidak mendapatkan satu raka’atpun bersama imam, maka tidaklah dianggap mendapatkan jama’ah. Karena ia menyelesaikan seluruh bagian shalatnya dengan sendirian. Ia tidak terhitung mendapatkan satupun bagian shalat bersama imam. Seluruh bagian shalat dikerjakannya sendirian.[14]

Pendapat ini adalah pendapat yang rajih. Wallahu a’lam bish shawab.

HUKUM BERJAMA’AH DALAM SHALAT NAFILAH[15]

Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim. Bahkan merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini, maka perlu diketahui secara jelas hukum seputar berjama’ah dalam shalat nafilah.


Ditinjau dari pensyari’atan berjama’ah pada shalat nafilah, maka terbagi menjadi dua.

Pertama. Shalat nafilah yang disyari’atkan mengamalkannya dengan berjama’ah. Terdiri dari:

1. Shalat Kusuf (shalat gerhana matahari). Shalat ini disunnahkan berjama’ah berdasarkan kesepakatan para fuqaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan, terdapat perselisihan para ulama tentangnya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan, tidak disunnahkan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan, sunnahnya.

2. Shalat Istisqa’(shalat minta hujan), disunnahkan berjama’ah. Demikian menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkan berjama’ah.

3. Shalat Ied, disunnahkan berjama’ah secara ijma’ kaum muslimin.

4. Shalat Tarawih


Kedua : Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.

Shalat yang disyari’atkan melakukannya secara sendirian (tidak berjama’ah) sangat banyak sekali. Diantaranya ialah: shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqah dan yang disunnahkan pada setiap malam dan siang.

Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut secara berjama’ah, terjdapat peselisihan diantara para ulama. Madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah memperbolehkan berjama’ah. Madzhab Hanafiyah memakruhkannya; dan madzhab Malikiyah membolehkan berjama’ah, kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka menyatakan hal itu, menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak di tempat yang terkenal, karena takut terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.

Akan tetapi, yang benar ialah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah melakukan shalat sunnah tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, beliau menyatakan, bahwa neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata, “Bangkitlah kalian, aku akan shalat berjama’ah bersama kalian.” Anas berkata,”Aku mengambil tikar kami yang telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sedangkan orang-orang tua wanita berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua raka’at kemudian pergi.”[16]

عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Dari ‘Utban bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya di rumahnya, lalu berkata,“Dimana dari rumahmu ini yang engkau suka aku shalat untukmu?” Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau bertakbir dan kami membuat shaf di belakangnya. Beliau shalat dua raka’at.[17]

Demikian juga Syaikh Shalih As Sadlan merajihkan pendapat dibolehkannya dengan syarat, sebagaimana pernyataan beliau,“Yang benar dari yang telah kami sampaikan, nafilah boleh dilakukan dengan berjama’ah. Baik nafilahnya merupakan sunnah rawatib atau sunnah mustahabbah atau tathawu’ mutlaq. Tapi dengan syarat, tidak menjadikannya sebagi satu kebiasaan, tidak ditampakkan secara terang-terangan, dan dilakukan karena satu sebab. Seperti diminta tuan rumah atau kerena bersamaan dalam menunaikan sunah. Misalnya, tamu ketika bertamu. Seandainya dia dan tuan rumahnya shalat witir berjama’ah, dengan syarat tidak timbul kebid’ahan atau perkara yang tidak dibolehkan oleh syari’at. (Tetapi), jika satu dari yang telah disebutkan itu terjadi, maka tidak disyari’atkan berjama’ah.” [18]

Kesimpulannya, dibolehkan melaksanakan shalat sunnah dengan berjama’ah, selama tidak menimbulkan kebid’ahan atau pelanggaran syari’at serta dibutuhkan untuk hal itu. Wallahu a’lam.

Kebanggaan

"Janganlah kau menjadi manusia yang hanya bisa membanggakan rosululloh SAW,

Jadilah kau manusia yang bisa dibanggakan Rosululloh SAW"

Waktumu Adalah Umurmu

Tanda orang yang merugi adalah banyak berkumpul namun tidak untuk menambah ilmu. Banyak berbasa-basi, bercanda, dan banyak bicara 

Dari Ibnu ‘Abbas ra, Rasulullah bersabda:
وَالْفَرَاغُالصِّحَّةُ:النَّاسِ مِنَ كَثِيْرٌ فِيْهِمَا مَغْبُوْنٌ نِعْمَتَانِ
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, nikmat sehat dan waktu luang.” (Riwayat Bukhori). (HR. Bukhori no.6412, At-Tirmidzi no.2304, Ibnu Majah no.4170, Ahmad no. I/258-344), Ad-Darimi no.II/297, Al-Hakim no.IV/306)

Waktu adalah ukuran zaman. Hari-hari yang kita lewati adalah umur kita. Apabila ia berlalu, maka hilanglah bagian dari hidup kita. Waktu adalah karunia terbesar dan paling berharga bagi manusia. Waktu menjadi rahasia berbagai prestasi cemerlang bagi seseorang ketika mampu menatanya dengan seksama.

Mumpung seseorang masih punya kesempatan waktu muda, maka seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masa muda sebagai waktu emas, saat masih memiliki kekuatan semangat, pikiran masih jernih, kesibukan masih sedikit, dan tekat yang kuat. Sebaliknya pada usia tua, jasad semakin lemah, beban semakin berat, penyakit sering mampir, dan kekuatan pun kian berkurang.

Semua bentuk tindakan, kesungguhan, kekuatan, kemuliaan, kenikmatan, dan pencapaian tujuan adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan ketika badan sehat dan adanya waktu luang. Kewajiban yang seharusnya kita tunaikan teramat banyak, sementara waktu terluang sangat terbatas. Dengan waktu pula, betapa banyak lahan yang bisa diolah, berapa banyak perusahaan yang bisa didirikan, berapa ribu orang yang bisa dibantu dan yayasan yang bisa dikembangkan. Namun betapa banyak pula yang sudah puas dengan sedikit kualitas, sudah bangga dengan amal yang belum ada apa-apanya.

Tidaklah Allah bersumpah dalam al-Quran dengan meggunakan kata waktu, wal-‘ashri, wad-dhuha, wal-laili, bis-syafaqi, wal-fajri, dan sebagainya, kecuali semuanya mengisyaratkan tentang betapa pentingnya waktu. Dimaksudkan agar manusia disiplin penuh perhatian terhadap masa hidupnya. 

Waktu yang Allah berikan kepada kita lebih berharga daripada emas karena ia adalah kehidupan itu sendiri. Seorang Muslim tidak pantas menyia-nyiakan waktu luangnya untuk hanya bercanda, bergurau, main-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena ia tidak akan pernah mampu mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang mengabaikan waktunya, maka semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana kerugian orang sakit, dia merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya.

Seorang Muslim yang pada dirinya terkumpul dua nikmat ini, yakni kesehatan badan dan waktu luang, maka hendaknya menunaikan hak keduanya untuk melakukan ketaatan dan meraih kedekatan kepada-Nya. Tapi jika menyia-nyiakannya maka sebenarnya ia adalah manusia yang tertipu. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal, yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakan modalnya yang ada padanya selain ketaatan kepada Allah.

Seseorang yang memiliki badan yang sehat tanpa menggunakannya untuk tindakan yang berguna dan tidak pula berbuat untuk akhiratnya adalah orang yang merugi. Dalam kenyataan memang kebanyakan manusia tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang. Mereka malah membuang usia dan mempermainkan umur. Kadang-kadang manusia juga tidak memiliki waktu luang. Waktunya habis hanya untuk mencari makan dan kebutuhan periuk nasi. Sebaliknya terkadang memiliki waktu luang namun badannya sakit, jiwanya juga sakit, malas, loyo, tidak bergairah yang pada akhirnya berujung pada kebangkrutan.
By: http://bambies.wordpress.com/

Menghajikan Orang Yang Sudah Meninggal

Ustadz, saya ingin bertanya mengenai apa dasarnya orang yang menghajikan orang lain (mis:orang tua) yang telah meninggal. Seorang uztad pernah menjawab dasarnya adalah hadist Nabi yang kira-kira maksudnya kalau orang yang meninggal hutangnya wajib dilunasi ahli waris. Itu hutang kepada manusia, masa hutang sama Tuhan tidak dibayar...? (dalam hal ini almarhum/ah pernah menyatakan niat ingin berhaji) Apa betul itu yang menjadi dasar Pak?

Tanya Jawab [258]: Menghajikan Orang yang Sudah Meninggal

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr. wb.

Ustadz, saya ingin bertanya mengenai apa dasarnya orang yang menghajikan orang lain (mis:orang tua) yang telah meninggal. Seorang uztad pernah menjawab dasarnya adalah hadist Nabi yang kira-kira maksudnya kalau orang yang meninggal hutangnya wajib dilunasi ahli waris. Itu hutang kepada manusia, masa hutang sama Tuhan tidak dibayar...? (dalam hal ini almarhum/ah pernah menyatakan niat ingin berhaji) Apa betul itu yang menjadi dasar Pak? Padahal menurut logika saya, masa iya, Allah yang menghidupkan dan mematikan manusia, masih menganggap niatan almarhum/ah tersebut adalah hutang??? Terima kasih atas jawaban Bapak. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Edi S


Jawaban

Assalamu'alaikum wr. wb.
Berikut ketentuan ibadah yang boleh dilakukan untuk orang lain :
1. Ibadah murni fisik, seperti shalat dan zakat tidak boleh diniatkan untuk orang lain, karena ibadah ini tidak boleh digantikan oleh orang lain.
2. Ibadah murni harta seperti zakat dan Qurban : Syafi'ie mengatakan tidak boleh diniatkan untuk orang lain, baik yang masih hidup atau telah meninggal, terkecuali bila almarhum telah mewasiatkannya. Mazhab Maliki mengatakan makruh dan mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan boleh. Dalam sebuah hadist Rasulullah menyembelih dua ekar domba gemuk, satu untuk diri beliau dan satu lagi untuk umatnya yang beriman.(H.R. Dar Quthni)
3. Ibadah yang mengandung unsur fisik dan harta seperti Haji : Mayoritas ulama mengatakan boleh dan hanya mazhab Maliki yang mengatakan tidak boleh. Landasan pendapat ini bisa di lihat dalam pembahasan di bawah. Dalil yang mengatakan tidak sah adalah nash-nash umum yang mengatakan bahwa orang yang sudah meninggal telah terhenti amalnya, seperti hadist yang mengatakan "Apabila Bani Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, Sodaqoh Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya" (H.R. Muslim dan Abu Harairah) dan nash-nash yang mengatakan bahwa seseorang hanya mendapatkan pahala atau dosa dari perbuatannya.
4. Bacaan-bacaan untuk orang yang sudah meninggal: Ibadah yang sampai kepada orang yang telah meninggal dunia adalah do'a, Istighfar (memintakan ampunan). Membaca al-Qur'an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal oleh sebagian ulama Syafi'i dan ulama Hanafi, insya Allah sampai kepada mayit tersebut. Imam Subki (ulama terkemuka mazhab Syafi'i) mengatakan : dari dalil-dalil yang ada kita bisa menyimpulkan bahwa bacaan al-Qur'an yang ditujukan kepada mayit akan bermanfaat untuknya. Ibnu Solah juga mengatakan sebaiknya diniatkan bahwa pahalanya dikirimkan kepada mayit. Landasan yang mengatakan bahwa ibadah tersebut sampai kepada mayit adalah hadits yang mengatakan "Bacalah untuk orang yang meninggal dunia, surat Yasin", begitu juga dalil-dalil yang menganjurkan puasa dan menjalankan haji untuk orang yang telah meninggal. Demikian juga ada hadits yang mengatakan "Barangsiapa mengunjungi kuburan kemudian membaca surat Yasin, maka Allah akan meringankan penghuni kuburan tersebut, dan bagi pembacanya akan mendapatkan pahala" (hadits ini disebut dalam Bahrurra'iq, karangan Zaila'i (Hanafi) dan sanadnya lemah). Riwayat dari Imam Syafi'i dan Ahmad mengatakan ibadah tersebut tidak sampai kepada mayit, seperti shalat qadla untuk mayit. Riwayat dari Imam Malik mengatakan makruh karena tidak dilakukan oleh ulama terdahulu.


Masalah menghajikan orang lain Pendapat ulama yang mengatakan boleh menghajikan orang lain, dengan syarat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji, atau karena sakit berat sehingga tidak memungkinkannya melakukan ibadah haji namun ia kuat secara finansial. Ulama Haanfi mengatakan orang yang sakit atau kondisi badanya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji namun mempunyai harta atau biaya untuk haji, maka ia wajib membayar orang lain untuk menghajikannya, apalagi bila sakitnya kemungkinan susah disembuhkan, ia wajib meninggalkan wasiat agar dihajikan. Mazhab Maliki mengatakan menghajikan orang yang masih hidup tidak diperbolehkan. Untuk yang telah meninggal sah menghajikannya asalkan ia telah mewasiatkan dengan syarat biaya haji tidak mencapai sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mazhab Syafi'i mengatakan boleh menghajikan orang lain dalam dua kondisi; Pertama : untuk mereka yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena tua atau sakit sehingga tidak sanggup untuk bisa duduk di atas kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai harta wajib membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun tidak termasuk biaya orang yang ditinggalkan. Kedua orang yang telah meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji, Ahli warisnya wajib menghajikannya dengan harta yang ditinggalkan, kalau ada. Ulama syafi'i dan Hanbali melihat bahwa kemampuan melaksanakan ibadah haji ada dua macam, yaitu kemampuan langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada juga kemampuan yang sifatnya tidak langsung, yaitu mereka yang secara fisik tidak mampu, namun secara finansial mampu. Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji.

Dalil-dalil :

1. Hadist riwayat Ibnu Abbas "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah "Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah haji untuknya?" Jawab Rasulullah "Ya, berhajilah untuknya" (H.R. Bukhari Muslim dll.).

2. Hadist riwayat Ibnu Abbas " Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Rasulullah s.a.w. bertanya "Rasulullah!, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab "Hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari & Nasa'i).

3. "Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata "Ayahku meninggal, padahal dipundaknya ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah menjawab "Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga wajib membayarnya ? "Iya" jawabnya. Rasulullah berkata :"Berahjilah untuknya". (H.R. Dar Quthni)

 4. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubramah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubramah?". "Dia saudaraku, Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah", lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan "Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah". Hukum menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama Hanafi mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an. Dalam sebuah hadist riwayat Ubay bin Ka'ab pernah mengajari al-Qur'an lalu ia diberi hadiah busur, Rasulullah bersabda "Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu, ya ambil saja".(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah" (H.R. Abu Dawud).

Sebagian ulama Hanafi dan mayoritas ulama Syafi'i dan Hanbali mengatakan boleh saja menyewa orang melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang boleh diwakilkan, dengan landasan hadist yang mengatakan "Sesungguhkan yang layak kamu ambil upah adalah Kitab Allah" (Dari Ibnu Abbas H.R. Bukhari). dan hadist-hadiat yang mengatakan boleh mengambil upah Ruqya (pengobatan dengan membaca ayat al-Qur;an). Ulama yang mengatakan boleh menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji, berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun orang yang belum meninggal. Ulama Maliki mengatakan makruh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, karena hanya upah mengajarkan al-Qur'an yang diperbolehkan dalam masalah ini menurutnya. Menyewa orang melaksanakan ibadah haji juga hanya boleh untuk orang yang telah meninggal dunia dan telah mewasiatkan untuk menyewa orang melakukan ibadah haji untuknya. Kalau tidak mewasiatkan maka tidak sah.

Syarat-syarat menghajikan orang lain :

1. Niyat menghajikan orang lain dilakukan pada saat ihram. Dengan mengatakan, misalnya, "Aku berniyat melaksanakan ibadah haji atau umrah ini untuk si fulan".

2. Orang yang dihajikan tidak mampu melaksanakan ibadah haji, baik karena sakit atau telah meninggal dunia. Halangan ini, bagi orang yang sakit, harus tetap ada hingga waktu haji, kalau misalnya ia sembuh sebelum waktu haji, maka tidak boleh digantikan.

3. Telah wajib baginya haji, ini terutama secara finansial.

4. Harta yang digunakan untuk biaya orang yang menghajikan adalah milik orang yang dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya.

5. Sebagian ulama mengatakan harus ada izin atau perintah dari pihak yang dihajikan. Ulama Syafi'i dan Hanbali mengatakan boleh menghajikan orang lain secara sukarela, misalnya seorang anak ingin menghajikan orang tuanya yang telah meninggal meskipun dulu orang tuanya tidak pernah mewasiatkan atau belum mempunyai harta untuk haji.

6. Orang yang menghajikan harus sah melaksanakan ibadah haji, artinya akil baligh dan sehat secara fisik.

7. Orang yang menghajikan harus telah melaksanakan ibadah haji, sesuai dalil di atas. Seorang anak disunnahkan menghajikan orang tuanya yang telah meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Dalam sebuah hadist Rasulullah berkata kepada Abu Razin "Berhajilah untuk ayahmu dan berumrahlah". Dalam riwayat Jabir dikatakan "Barang siapa menghajikan ayahnya atau ibunya, maka ia telah menggugurkan kewajiban haji keduanya dan ia mendapatkan keutamaan sepuluh haji". Riwayat Ibnu Abbas mengatakan "Barangsiapa melaksanakan haji untuk kedua orang tuanya atau membayar hutangnya, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat nanti bersama orang-orang yang dibebaskan" (Semua hadist riwayat Dar Quthni). Demikian, semoga membantu.

Waalahu a'alam

Muhammad Niam
(Dari berbagai sumber
By: http://www.pesantrenvirtual.com/

Amalan Yang Tak Terputus

Muhadharah (ceramah) yang disampaikan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan tentang syarah hadits “Apabila anak Adam meninggal dunia maka akan terputus segala amalannya kecuali tiga perkara…”.

Segala puji hanya milik Allah Yang mempunyai segala apa yang ada di langit maupun di bumi. Bagi-Nya segala pujian di dunia maupun di akherat dan Dialah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya manusia diciptakan di alam kehidupan ini bertujuan untuk beramal, kemudian nanti akan dibangkitkan di hari kiamat untuk dibalas berdasarkan apa yang telah mereka amalkan. Maka manusia tidak diciptakan sia-sia, juga tidak ditelantarkan begitu saja. Orang yang beruntung adalah orang yang telah memberikan kebaikan untuk dirinya yang akan dia dapatkan simpanannya di sisi Allah. Dan orang yang celaka adalah orang yang yang memberikan kejelekan untuk dirinya yang akan mengakibatkan kesengsaraan.
Lihatlah kepada amal-amalmu, dan mawas dirilah sebelum datang ajalmu, karena kematian menandakan terputusnya amalan dan merupakan permulaan menuai balasan. Kematian begitu dekat namun kalian tak mengetahui kapan datangnya. Dan perhitungan amal sangat teliti namun kalian tak mengetahui kapan saatnya. Rambut beruban telah memberikan tanda peringatan akan kematian, maka bersiaplah menghadapinya. Kematian teman karib seseorang menandakan dekatnya kematian dirinya.
Ingatlah kematian, beramallah untuk menghadapi masa sesudahnya yang pasti kalian akan datang menemuinya dan menetap di sana. Jangan sampai dilalaikan dengan sesuatu yang kalian datangi tapi akan segara kalian tinggalkan. Jangan tertipu dengan impian-impian panjang lalu menjadi lupa dengan kedatangan ajal. Berapa banyak orang yang mendambakan sesuatu lalu tidak bisa dia dapatkan. Berapa banyak orang yang hidup dalam waktu paginya suatu hari, lalu tak menemui waktu sorenya; atau mengalami sorenya suatu malam namun tak menemui paginya. Berapa banyak orang ketika datang ajalnya berangan untuk ditunda beberapa saat lagi agar dia bisa memperbaiki kesalahannya serta melakukan apa yang telah dia lupakan. Maka dikatakan padanya : “Mustahil, apa yang kau harapkan telah berlalu, kami telah memperingatkanmu sebelumnya dan kami telah ancam kamu bahwa tidak ada waktu lagi untuk kembali”. Allah berfirman (yang artinya) :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata : “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Munafiqun : 9-11)
Sebenarnya seseorang itu terhenti amalnya tatkala datang kematiannya. Tetapi ada beberapa amalan yang dilakukan pada saat hidupnya dan manfaatnya terus-menerus dipakai, maka pahalanya akan terus mengalir kepada pelakunya meskipun temponya berlangsung lama. Dan itu berbentuk segala usaha kebaikan yang bisa bermanfaat bagi manusia ataupun binatang ternak; seperti wakaf-wakaf untuk kebaikan, pohon-pohon berguna yang berbuah, sumber-sumber air minum, membangun masjid-masjid dan madrasah, anak keturunan yang shalih, mengajarkan ilmu bermanfaat dan mengarang kitab-kitab yang berfaedah.
Di dalam As Shahih diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Apabila seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya kecuali tiga perkara : shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kepadanya”.
Hadits ini menunjukkan terputusnya amalan seseorang itu dengan kematiannya, dan waktu untuk beramal adalah selama dia masih berada dalam kehidupannya.
Maka wajib bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari sikap lalai dan membuang-buang waktu, dan hendaklah bersegera melakukan ketaatan sebelum datang kematian, tidak mengakhirkannya sampai waktu yang mungkin tidak bisa dia gapai. Dalil-dalil yang menunjukkan perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bersegera dalam melakukan ketaatan dan bercepat-cepat untuk melakukan amalan banyak, menandakan bahwa kalau tidak segera dikerjakan hal itu akan luput dari tangan kita.
Hadits tadi menunjukkan dikecualikannya amalan kebaikan yang terus bisa dimanfaatkan setelah meninggalnya orang yang melakukannya, tidak terputus dengan kematian dia. Bahkan pahalanya akan terus mengalir selama bermanfaat meskipun bisa bertahan sampai lama.
Perkara-perkara itu adalah :
Pertama : shadaqah jariyah.
Para ulama telah menafsirinya dengan wakaf untuk kebaikan. Seperti mewakafkan tanah, masjid, madrasah, rumah hunian, kebun kurma, mushaf, kitab yang berguna, sumber-sumber air minum berupa sumur, bak, kran-kran minum dengan pendingin, dan lain sebagainya. Disini merupakan dalil disyariatkannya mewakafkan barang yang bermanfaat dan perintah untuk melakukannya, bahkan itu termasuk amalan yang paling mulia yang bisa dilakukan seseorang untuk kemuliaan dirinya di akhirat. Yang pertama ini bisa dilakukan oleh para ulama maupun orang awam.
Kedua : ilmu yang bermanfaat.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara seseorang mengajarkan ilmu kepada manusia perkara-perkara agama mereka. Ini khusus bagi para ulama yang menyebarkan ilmu dengan cara mengajar, mengarang dan menuliskannya. Orang yang awam juga bisa melakukannya dengan cara ikut serta di dalamnya berupa mencetak kitab-kitab yang bermanfaat atau membelinya lalu menyebarkannya atau mewakafkannya. Juga membeli mushaf lalu membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau meletakkannya di masjid-masjid. Hal ini menganjurkan kita untuk mempelajari ilmu dan mengajarkannya, menyiarkannya dan menyebarluaskan kitab-kitabnya agar bisa mengambil manfaat sebelum dan sesudah kematian dia.
Manfaat ilmu akan tetap ada selama di permukaan bumi ini masih ada seorang muslim yang sampai kepadanya ilmu tersebut. Berapa banyak ulama yang meninggal semenjak ratusan tahun yang lalu tetapi ilmunya masih ada dan dimanfaatkan melalui kitab-kitab yang telah dikarangnya lalu dipakai dari generasi ke generasi sesudahnya dengan perantara para muridnya kemudian para pencari ilmu setelah mereka. Dan setiap kali kaum muslimin menyebutkan nama dia, mereka selalu mendoakan kebaikan dan mendoakan agar Allah merahmati dia. Ini adalah fadhilah dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Berapa banyak generasi yang diselamatkan Allah dari kesesatan dengan jasa seorang alim, maka alim itu mendapatkan seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.
Ketiga : anak shalih
Anak shalih baik laki-laki maupun perempuan, anak kandung maupun cucu, akan terus mengalir kemanfaatan mereka untuk para orang tua berkat doa baik yang diterima Allah untuk ibu bapak mereka. Juga shadaqah yang dilakukan anak-anak shalih untuk orang tua, juga hajinya, bahkan doa yang diucapkan orang yang pernah mendapatkan kebaikan dari anak-anak tersebut. Seringkali orang yang mendapatkan kebaikan dari seseorang dia mengatakan : “Semoga Allah merahmati orang tuamu dan mengampuni mereka”.
Disini juga menunjukkan anjuran untuk menikah, dengan tujuan untuk mendapatkan anak yang shalih, dan melarang dari membenci banyaknya anak. Sebagian manusia kadang terpengaruh dengan propaganda-propaganda sesat sampai dia membenci banyaknya anak dan berusaha untuk membatasi kelahiran atau bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama. Ini dikarenakan kebodohan mereka terhadap ilmu agama dan ketidaktahuan mereka tentang hasil yang akan didapatkan nanti, serta disebabkan karena lemahnya iman.
Dalam hadits tadi juga terdapat anjuran untuk mendidik anak agar menjadi shalih dan menumbuhkan mereka dalam ajaran Islam dan dalam keshalihan agar mereka menjadi generasi yang shalih buat orang tua mereka yang nantinya mendoakan kebaikan kepada mereka setelah meninggal. Dan terus menerus kebaikan pahala akan mengalir meskipun telah terputus amalan orang tua.
Pada zaman ini banyak sekali orang yang melalaikan permasalahan tersebut. Tidak memperhatikan kepada pendidikan anak-anaknya, justru mendidik anaknya agar rusak, dan tidak berusaha untuk memperbaikinya. Melihat anak-anaknya melakukan larangan dan meninggalkan kewajiban serta meninggalkan shalat, dia tidak memerintahkan mereka atau melarang. Atau melihat anak-anaknya bermain di jalanan, bergaul dengan teman-teman jelek, bahkan kadang pergi ke tempat-tempat yang disitu ada kerusakan, sama sekali tak menjadi pikirannya. Padahal kalau anaknya merusakkan salah satu benda yang dimilikinya, dia pasti akan menjadi lelaki tegas dan pahlawan pembela, membela harta dunianya namun sama sekali tak membela agamanya. Perhatiannya hanya untuk perbaikan harta dan tidak ada perhatian untuk kebaikan anak-anak dalam hidupnya, bagaimana setelah mati?
Maka bertaqwalah kalian wahai para bapak dalam perkara yang berkenaan dengan anak-anakmu agar mereka menjadi simpanan untukmu dan jangan sampai mereka menjadikan kalian rugi. Ketahuilah bahwa keshalihan anak tak akan terwujud begitu saja tanpa mengupayakan sebab, tanpa kesabaran dan kesusahan.
Hadits diatas juga menunjukkan bahwa anak disyariatkan mendoakan orang tuanya bersamaan dengan doa untuk dirinya di dalam maupun di luar sholat. Dan ini termasuk perbuatan berbakti yang akan terus ada setelah meninggalnya para orang tua.
Perkara-perkara yang tersebut di dalam hadits tadi adalah inti dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”. (QS Yaasiin : 12)
Apa yang telah mereka kerjakan disini maksudnya adalah apa yang mereka lakukan secara langsung dalam hidupnya berupa amal-amal yang baik maupun yang buruk. Sedang bekas-bekas yang mereka tinggalkan maksudnya hasil dari amalannya yang terus terwujud setelah kematiannya yang baik maupun yang buruk.
Bekas-bekas amalan yang sampai kepada seorang hamba setelah meninggalnya ada tiga perkara :
Pertama : amal shalih yang dilakukan orang lain sebagai hasil upaya si mayit, berupa dakwah dan pengarahannya kepada orang itu sebelum meninggal.
Kedua : beberapa perkara yang digunakan orang lain berupa usaha-usaha kebaikan yang bermanfaat yang telah didirikan si mayit sebelum dia meninggal. Atau wakaf yang diwakafkannya pada saat masih hidup yang kemudian diambil hasilnya setelah dia meningga dunia.
Ketiga : amalan-amalan yang dilakukan orang yang masih hidup kemudian pahalanya dihadiahkan kepada si mayit berupa doa, shadaqoh dan amalan kebajikan yang lain.
Ibnu Majah meriwayatkan :
“Sesungguhnya amal kebaikan yang akan sampai kepada mayit setelah meninggalnya adalah : ilmu yang dia sebarkan, anak shalih yang dia tinggalkan, mushaf yang dia wariskan, masjid yang dia dirikan, rumah yang dipakai para musafir yang telah dia bangun, sungai yang dia alirkan, atau shadaqoh yang dia keluarkan dari hartanya pada saat dia masih hidup dan sehat, semua akan sampai kepadanya setelah dia meninggal”.
Maka berusahalah -semoga Allah merahmatimu-, untuk mengerahkan semua sebab dan melakukan amalan yang bermanfaat yang akan terus ada manfaatnya dan mengalir pahalanya setelah wafatmu, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Harta dan anak-anak shaleh adalah perhiasan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (QS Al Kahfi : 46)
Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada Muhammad, keluarga dan shahabatnya.
Sumber URL: http://www.salafyoun.com/